Harga listrik dari energi terbarukan yang relatif tinggi dibandingkan energi fosil dinilai membebani keuangan PLN karena membuat biaya operasi BUMN kelistrikan itu kurang efisien.
Tapi menurut Direktur Eksekutif Institute for Essensial Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, bukan energi terbarukan yang membuat kinerja keuangan PLN kurang mengkilap. Ada masalah lain.
Sebagai contoh, Fabby menuturkan PLN membangun pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) berkapasitas 10 Megawatt (MW) di Pulau Sumba. Padahal, daerah tersebut memiliki potensi energi angin yang besar sekali.
Angin di lokasi yang sama bisa menghasilkan listrik lebih dari 10 MW. Tapi PLN malah memakai PLTMG yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Dibanding PLTMG, sebenarnya pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) lebih efisien untuk Sumba.
“Penyebab beban keuangan PLN tinggi bukan energi terbarukan, ada masalah lain. Di Sumba yang dibangun PLTMG 10 MW. Padahal itu adalah lokasi yang sangat bagus untuk PLTB. Di sana bisa dibangun PLTB sampai 20 MW,” papar Fabby saat ditemui di Kantor Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Jakarta, Jumat (3/11).
Bukan hanya di Sumba saja, PLN kerap ‘bakar solar’ untuk menerangi pelosok-pelosok Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagainya. Padahal memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat lebih efisien.
Kapal Marine Vessel Power Plant (MVPP) yang disewa PLN dari Turki untuk menerangi Sumatera Utara, Ambon, Lombok juga tak efisien karena masih memakai BBM. Harga listriknya mencapai Rp 2.200/kWh.
“Dalam upaya meningkatkan rasio elektrifikasi di Papua, Maluku, NTT, NTB, dan sebagainya pakai PLTMG dan sewa kapal Turki yang pakai BBM. Itu jauh lebih tinggi harganya dibanding energi terbarukan setempat. Kapal Turki itu listriknya bisa Rp 2.200/kWh,” tuturnya.
Fabby mengkritik sikap PLN yang menjadikan harga sebagai alasan untuk tidak terlalu banyak menggunakan energi terbarukan, tapi di sisi lain malah memakai bahan bakar fosil yang harganya lebih mahal.