Ketiadaan Akses Listrik di Daerah Terpencil Beban Ganda Bagi Perempuan

JAKARTA-MAGDALENE.CO. Bagi masyarakat perkotaan, daya listrik sebesar 5.000 watt adalah kebutuhan untuk satu rumah tangga, namun di daerah terpencil, 5.000 watt bisa menghidupkan listrik satu kampung. Sayangnya, daya sebesar itu saja masih belum dapat dipenuhi di daerah-daerah terpencil, termasuk di daerah perbatasan Indonesia.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Juni 201 menunjukkan, provinsi Papua dan provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki rasio elektrifikasi terendah di antara provinsi lainnya yaitu 59,7 persen untuk NTT dan 48,7 persen untuk Papua. Akses energi yang masih belum merata ini banyak menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat, terutama perempuan, antara lain kemiskinan dan beban ganda untuk menyediakan sumber energi di rumah mereka.

Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Tri Mumpuni mengatakan, ketiadaan energi sangat berdampak pada perempuan.

Di daerah-daerah yang masih belum memiliki akses terhadap listrik, perempuan tidak bisa melakukan hal-hal di luar aktivitas domestik seperti mencari air untuk kebutuhan sehari-hari, dan mencari kayu bakar untuk menghidupkan tungku di dapur. Sumber energi listrik yang jauh dari jangkauan membuat perempuan bekerja ekstra untuk mencukupi kebutuhan energi di rumahnya.

“Jika kita mendekatkan sumber energi pada mereka, 98 persen dari beban pekerjaan (perempuan) akan teratasi,“ ujar Tri dalam seri diskusi Pojok Energi dengan tema Perempuan Bicara Energi, yang diadakan baru-baru ini oleh Institute for Essential Services Reform (IESR).

Maritje Hutapea, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan di Kementerian ESDM, mengatakan dalam diskusi yang sama bahwa saat  sumber energi tersebut tersedia, kelompok perempuan dapat memberdayakan diri mereka sendiri lewat kewirausahaan.

“Ketika saya meresmikan pembangkit listrik tenaga angin dan surya di salah satu daerah di Pulau Rote, ibu-ibu di daerah tersebut sangat senang. Dengan adanya listrik, makanan tradisional yang mereka buat bisa bertahan lama, dan mereka bisa memasarkan makanan tersebut ke supermarket di luar daerah mereka, “ ujar Maritje, yang sering bekerja sama dengan Tri dalam menyediakan energi listrik di penjuru Indonesia.

Pengadaan listrik juga memberikan perubahan dalam peran gender dan memberi peluang bagi perempuan untuk lebih berpartisipasi dalam perekonomian lokal. Contohnya di desa Cintamekar, Subang, Jawa Barat. Menurut Tri, ketika desa itu mendapatkan akses listrik lewat tenaga mikro hidro, para ibu di sana juga diajarkan bagaimana mengelola dan mengatur pemasukan dari dana mikro hidro yang dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Mereka pun berpartisipasi aktif dalam koperasi dan juga mengalokasikan dana koperasi untuk pendidikan, kesehatan, dan modal bisnis kembali.

Tidak hanya berpengaruh pada relasi gender, pengadaan energi yang setara, hemat, dan ramah lingkungan ini juga dapat meningkatkan kualitas kesehatan perempuan.

Sebagian besar sumber energi yang diandalkan di daerah yang belum dialiri sumber daya energi listrik adalah kayu bakar untuk menghidupkan tungku di rumah mereka. Masalah timbul karena mereka tidak saja harus mencari kayu bakar, namun pemakaian kayu bakar menimbulkan polusi asap di dalam rumah. Akibatnya, banyak perempuan dan anak balita terpapar infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).

“Hal ini sering diabaikan. Tungku yang digunakan dalam rumah tangga boros energi dan asapnya mengganggu,” ujar Prianti Utami dari Yayasan Dian Desa, yang ikut andil dalam  mengembangkan  tungku hemat energi sebagai solusi pemakaian tungku-tungku di desa.

Pendekatan gender dalam pengadaan energi ternyata memberikan dampak yang baik bagi peningkatan kesetaraan gender dan juga kualitas hidup perempuan di desa-desa. Pendekatan ini dipilih karena perempuan adalah anggota masyarakat yang secara langsung berhadapan dengan pengadaan energi di rumahnya. Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak banyak diberi kesempatan untuk berbicara mengenai apa yang dirasakan selama ini dalam memperoleh energi sehari-hari.

“Mereka yang lebih tahu bagaimana energi dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari tetapi ketika kami datang dan bertanya, yang duduk paling depan itu laki-lakinya sedangkan yang perempuan di belakang. Ketika ditanya, tentu laki-laki kurang mengerti dengan pemakaian energi sehari-harinya, tapi perempuannya pun juga hanya diam ditanya. Inilah yang juga kami bantu, agar perempuan juga berani mengutarakan pendapat mereka,” ujar Maritje.

Sumber : Magdalene.co

Share on :