Jakarta, CNBC Indonesia— PT PLN (Persero) sempat mengeluhkan tingginya harga batu bara dan meminta pemerintah dapat memberi harga khusus atau kompensasi untuk tidak mengikuti harga pasar.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai dalam hal ini pemerintah dapat menetapkan harga yang berbeda untuk kebutuhan dalam negeri (DMO). Sebab, 3 dari 4 komponen yang ada di harga batu bara acuan (HBA) tidak memiliki kaitan dengan harga dalam negeri.
Seperti diketahui, ada 4 komponen HBA, yaitu Indonesia Coal Index, Platts59 Index, New Castle Export Index, dan New Castle Global Coal Index.
“Tiga lainnya tidak ada urusan sama harga batu bara kita. Jadi, acuan HBA tidak tepat untuk harga domestik,” kata Fabby kepada CNBC Indonesia, Jumat (2/2/2018).
Pemerintah, disampaikan Fabby, memiliki hak untuk menentukan harga batu bara untuk domestik yang berbeda dengan ekspor. Menurut dia secara filosofi hukum hal tersebut bisa dilakukan karena izin tambang yang diberi ke perusahaan batu bara adalah dari negara.
Fabby pun memberi contoh Afrika Selatan, yang selain menetapkan DMO sebesar 50% juga memberlakukan harga berbeda atas batu bara untuk domestik.
“Menurut saya pemerintah harus punya strategi dan terceminkan dalam RUPTL 2018 2027,” tutur Fabby.
Dengan kondisi harga batu bara yang fluktuatif dan berimbas pada keuangan PLN, Fabby memandang sudah saatnya pemerintah mulai mengembangkan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
“Kalau energi terbarukan dikembangkan dalam skala besar, hanya capital cost yang mahal, tapi tidak ada biaya bahan bakar. Kalau PLTU, bahan bakar juga mahal,” ujar Fabby.