Jakarta-MONGABAY INDONESIA. Pemerintah sudah mengeluarkan revisi rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027 yang disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 13 Maret lalu.
Dalam RUPTL itu, pemerintah menurunkan total rencana pembangunan pembangkit dari 78.000 megawatt jadi 56.024 megawatt, dengan hanya 5.000 megawatt PLTU batubara di Jawa, terpangkas termasuk ekspansi PLTU Cilacap dan Indramayu.
Sedangkan kapasitas pembangkit energi terbarukan terpangkas 14.912 megawatt dari sebelumnya 21.500 megawatt. . Pembangkit listrik tenaga air dikurangi 1.000 megawatt.
Pemerintah kemudian menetapkan target bauran energi pembangkit akhir 2025, batubara 54,4%, energi terbarukan 23%, gas 22,2 % dan BBM 0,4%.
Total rencana pembangunan transmisi berubah jadi 63.855 kms, gardu induk 151.424 MVA, jaringan distribusi 526.390 kms, dengan total rencana pembangunan gardu distribusi 50.216 MVA.
Perubahan ini berdasarkan proyeksi rata-rata pertumbuhan kebutuhan listrik 6,86%, turun dari proyeksi tahun lalu, 8%.
Ignasius Jonan, Menteri ESDM mengatakan, perubahan itu berdasarkan proyeksi, intinya commercial operation date (COD) dicocokkan pada proyeksi kebutuhan listrik setiap wilayah di Indonesia.
Perubahan RUPTL ini, katanya, karena realisasi indikator makro ekonomi yang berdampak pada pertumbuhan penjualan tenaga listrik PLN tahun 2017 lebih rendah dari target RUPTL PLN 2017-2026. Dengan begitu, perlu penyesuaian jadwal beroperasi pembangkit baru.
Dalam RUPTL terbaru, pemerintah menyatakan telah mengakomodasi percepatan elektrifikasi lebih 2510 desa belum berlistrik, peningkatan sumber energi setempat untuk pembangkit tenaga listrik yaitu batubara mulut tambang, gas wellhead, biogas, biomassa, tenaga air, sinar matahari dan tenaga angin.
KESDM, katanya, terus mendorong pengembangan energi terbarukan dengan harga terjangkau. “RUPTL revisi ini telah mengakomodasi pemanfaatan energi terbarukan dalam perencanaan pembangunan pembangkit listrik.”
Rasio elektrifikasi
Meski mengurangi kapasitas pembangkit, pemerintah optimis target rasio elektrifikasi 99,9% pada 2019 tercapai. Syofvi Felienty Roekman, Direktur Perencanaan Korporat PLN, mengatakan, akan berusaha memenuhi target rasio elektrifikasi desa akhir 2018.
“Kalau dibilang ini berat, kami bilang ini sangat menantang,” katanya dalam energy talk di Jakarta awal Maret.
Saat ini, dalam catatan PLN, ada 3.660 desa belum berlistrik. Berbeda dari data sebelumnya menyebutkan sekitar 2.500 desa masih gelap.
Menurut Syofvi, jumlah desa berkembang karena pemekaran dan beberapa desa yang tak mau masuk listrik, seperti Desa Badui Dalam.
Tantangan berat PLN, katanya, salah satu penurunan permintaan rata-rata 4% setiap tahun pada minimal tiga tahun terakhir. Sebelumnya, permintaan bisa 5%, bahkan pernah 11%.
Konsumsi listrik rumah tangga juga menurun, salah satu karena pelanggan kini tak hanya konsumsi listrik juga produksi, misal pembangkit listrik tenaga surya di rumah mereka.
Alih-alih menambah konsumsi, ada pelanggan bahkan bisa tagihan minus karena memproduksi listrik.
Kalau tahun lalu pemerintah fokus menerangi desa, pada 2018, PLN fokus pada jumlah rumah. Sasaran utama, katanya, rumah-rumah di daerah terpencil, terdepan dan terisolasi.
“Ini jadi tantangan lain bagi PLN.”
Menurut Syofvi, jika biaya pemasangan listrik baru di Jawa hanya Rp1,5-2 juta, di area terpencil bisa Rp100-Rp200 juta per rumah. Biaya besar terutama untuk pembangunan infrastruktur. Terlebih sejak 2015, infrastruktur ditanggung penuh PLN.
Tahun ini, katanya, PLN perlu Rp1 triliun hanya untuk melistriki desa. Investasi PLN per tahun mencapai Rp120 triliun, dimana 15,59% untuk listrik.
Pembangkit listrik biomassa dari bambu di Mentawai. Foto: dari presentasi Jaya Wahono/ Mongabay Indonesia
Tarif tetap
Pemerintah juga berkomitmen, tak akan menaikkan tarif listrik sampai 2019. Pemerintah menampik kebijakan ini karena tahun politik.
“Ini untuk menjaga daya beli masyarakat,” kata Jonan.
Lantas bagaimana cara menjaga kesehatan keuangan PLN kala harus menembus daerah terpencil tetapi tak menaikkan tarif dasar?
Andy Noorsaman Someng, Direktur Ketenagalistrikan mengakui ada trilema dalam membangun sektor energi. Trilema antara keamanan pasokan listrik, harga dan keberlanjutan.
Penambahan kapasitas batubara disadari Andy menghadapi masalah lingkungan. Sedang pembangkit ramah lingkungan, harus menghadapi tantangan akses dan kewajaran harga, alias mahal.
Di wilayah timur, seperti Papua, rasio elektrifikasi baru 62,1% dan Nusa Tenggara Timur 61,2%, akses sulit dan pembangunan infrastruktur mahal.
“Listrik ini dari dulu sudah satu harga, jauh sebelum BBM satu harga.”
Mengenai keberlanjutan, dia meyakinkan, kalau pemerintah punya komitmen mengembangkan energi terbarukan dan konservasi energi. “Hanya harga listrik harus wajar. Sustain kalau tidak terjangkau nggak bisa juga.”
Untuk itu, katanya, pemerintah bikin aturan soal harga batubara guna keperluan listrik dalam negeri. Ia mempertimbangkan permintaan PLN karena tren harga batubara naik sejak awal 2018. Bulan ini, katanya, harga batubara mencapai US$105 per ton.
Harga jual batubara
Dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1359K/30/MEM/2018 pada 9 Maret 2018 soal harga jual batubara untuk penyediaan tenaga listrik buat kepentingan umum, pemerintah menetapkan harga jual untuk PLTU US$70 per ton. Ini untuk nilai kalori 6.322 GAR atau gunakan harga batuara acuan (HBA) apabila HBA di bawah US$70.
Untuk harga batubara kalori lain, katanya, dikonversi pada harga batubara nilai kalori 6.332 GAR, berdasarkan perhitungan sesuai ketentuan berlaku. Mulanya, aturan ini dibuat berlaku surut hingga 1 Januari 2018. Sehari setelah penetapan, pemerintah membatalkan ketentuan berlaku surut.
Dalam kepmen, pemerintah juga menetapkan volume maksimal pembelian batubara untuk pembangkit listrik 100 juta ton per tahun atau sesuai kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik.
Besaran royalti dan pajak dihitung berdasarkan harga transaksional. Perusahaan yang menjual batubara untuk kepentingan listrik nasional dapat tambahan produksi 10% apabila memenuhi syarat sesuai ketentuan. Penetapan harga ini hanya beraku bagi penjualan kelistrikan nasional.
Jonan menegaskan, penetapan harga jual batubara untuk PLTU agar tarif tenaga listrik tetap terjaga demi melindungi daya beli masyarakat dan industri yang kompetitif.
Ulangi kesalahan lama?
Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menilai, PLN mengulangi kesalahan lama merevisi RUPTL berdasarkan pertumbuhan permintaan yang berlebihan.
Kondisi ini, katanya, memicu kapasitas berlebihan dan membuat anggaran negara berisiko. Proyeksi pertumbuhan permintaan 6.86%, katanya, masih terlalu tinggi mengingat pertumbuhan rata-rata 4,4% dalam lima tahun terakhir.
“Dengan fakta pengurangan batubara hanya 5.000 megawatt atau kurang dari permintaan Koalisi Break Free yakni 13.000 megawat, dapat diasumsikan tak cukup menjawab masalah kapasitas berlebih di jaringan Jawa-Bali,” katanya.
Dalam porsi campuran energi, porsi batubara meningkat jadi 54,4% dari sebelumnya hanya 50,4%. Pengurangan lebih besar terjadi pada energi terbarukan seperti hidro dan panas bumi. Meski pangsa energi terbarukan lain naik seperti solar, biomassa dan angin.
Pengurangan tenaga batubara, kata Hindun, tidak cukup mencegah bencana pencemaran udara dan melindungi konsumen dari kenaikan harga energi.
Yang tak kalah penting, katanya, RUPTL baru tak akan membantu PLN mengatasi krisis keuangan karena masih ada investasi signifikan terhadap batubara. Sementara PLN kesulitan menghadapi banyak pinjaman dan obligasi yang harus dilunasi.
“RUPTL ini kemenangan industri batubara karena mendapat keuntungan dari polusi udara dan kenaikan harga listrik. PLN sekali lagi telah membiarkan masyarakat menanggung dampak kesehatan dari polusi udara, menyianyiakan modal dan subsidi untuk pembangkit batubara yang tak dibutuhkan.”
Tak hanya Greenpeace, Faby Tumiwa Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menyesalkan pemangkasan porsi energi terbarukan dalam RUPTL. Menurut dia, pengurangan kapasitas pembangkit energi terbarukan dengan alasan penurunan proyeksi permintaan listrik tak tepat.
Menurut dia, biaya investasi pembangkit terdistribusi seperti sel surya dan baterai penyimpan membuat teknologi ini dapat berpeluang jadi disruptive technology untuk pembangkit skala besar seperti PLTU.
Artinya, teknologi solar rooftop dan baterai dapat jadi ancaman bagi PLN. Aplikasinya di skala rumah tangga dan komersial dengan harga kompetitif dalam 5-10 tahun dapat memangkas kebutuhan dan permintaan listrik dari PLN.
“Akibatnya kapasitas PLTU yang terbangun akan idle,” kata Fabby.
Pasokan berlebih pembangkit listrik PLN dan swasta (IPP), katanya, dapat memicu aset mangkrak karena listrik tak terbeli pelanggan. Dampaknya, beban keuangan harus ditanggung PLN dan IPP meningkat dan memicu kerugian finansial PLN.
Risiko peningkatan biaya pembangkit listrik karena kenaikan biaya energi primer, khusus batubara dan BBM, seperti terjadi saat ini, katanya, dapat dicegah dengan membangun lebih banyak pembangkit terbarukan dengan biaya listrik tak terpengaruh harga bahan bakar.
Pembangunan pembangkit energi terbarukan skala besar di sistem Jawa-Bali, katanya, memungkinkan secara teknis, asalkan PLN dan KESDM bisa keluar dari dogma perencanaan listrik konvensional dengan memberi penetrasi energi terbarukan lebih besar.
Walaupun biaya teknologi energi terbarukan di dunia turun drastis dalam 10 tahun terakhir, biaya investasi energi ini di Indonesia relatif tinggi. Hal itu, katanya, karena faktor risiko masih dinilai tinggi dan mempengaruhi bankability project, tingginya biaya pengadaan lahan dan suku bunga dalam negeri.
“Pendekatan dan strategi inilah yang tak tampak dalam penyusunan RUPTL 2018-2027. Menteri Jonan berkali-kali mendesak harga listrik energi terbarukan turun, bahkan lebih murah dari PLTU. “Sejauh ini (pemerintah) tak memiliki kerangka kebijakan komprehensif dan strategi terarah bagaimana mencapai harga energi terbarukan yang kompetitif,” ucap Fabby.