Indonesia Clean Energy Outlook, Energi Terbarukan, Inkonsitensi Kebijakan

Jakarta, Kompas — Pengembangan energi terbarukan di Indonesia menghadapi masalah inkonsistensi dalam hal kebijakan. Dalam laporan yang diterbikan Institute for Essential Services Reform atau IESR, Indonesia disebut tidak berada dalam jalur yang tepat untuk menuju target pencapaian bauran energi terbarukan. Namun, usaha mempercepat peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan harus dipertahankan.

Demikian yang mengemuka dalam Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019, Rabu (19/12/2018), di Jakarta. Acara yang diselenggarakan IESR itu menghadirkan pembicara kunci Menteri Pertambangan dan Energi 1978-1988, Subroto, dan dua nara sumber diskusi masing-masing Purnomo Yusgiantoro dan Sudirman Said. Purnomo adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2000-2009, sedangkan Sudirman Said adalah Menteri ESDM 2014-2016.
Menurut Sudirman, kebijakan di bidang energi di Indonesia menghadapi masalah dalam hal inkonsistensi. Kebijakan yang acap kali berubah membuat arah kebijakan menjadi tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia investasi. Salah satu penyebabnya adalah intervensi politik yang kuat.

“Konsistensi dan stabilitas itu penting dalam urusan energi. Mudahnya bongkar pasang penanggung jawab masalah energi menyebabkan arah program tidak jelas. Ini lantaran ada campur tangan politik,” kata Sudirman.

Sudirman mencontohkan pergantian posisi direktur utama pada PT Pertamina (Persero) yang berkali-kali terjadi sejak 2014. Selain itu, kebijakan penyesuaian harga jual premium dan solar bersubsidi yang semula ditetapkan setiap tiga bulan diputuskan untuk tidak berubah kendati harga minyak dunia naik atau turun. Ia menyebut perlunya keseriusan menangani persoalan di bidang energi.

Grafis potensi energi terbarukan di Indonesia.

Mengenai inkonsistensi kebijakan tersebut, lanjut Purnomo, akan berdampak buruk terhadap iklim investasi di dalam negeri. Dunia usaha akan dihadapkan pada ketidakpastian. Padahal, investasi sangat dibutuhkan negara untuk menggerakkan perekonomian.

“Contohnya Blok Masela (blok kaya gas di Maluku). Sebelumnya sudah diputuskan di laut lepas (pengolahan gas alam menjadi LNG), tetapi kemudian diganti untuk dipindah ke darat. Mundur lagi (rencana komersialisasi gas). Sekali lagi, konsistensi sangat dibutuhkan,” ujar Purnomo.

Suram
Sementara itu, soal pengembangan energi terbarukan di Indonesia, menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, prospek di 2019 akan suram, terutama pada semester pertama. Pasalnya, tahun depan adalah tahun politik di mana harga atau tarif listrik murah akan menjadi isu utama. Artinya, pemerintah akan mempertahankan kebijakan status quo yang berbasis energi fosil batubara.

“Kedua, mengingat tahun 2019 adalah tahun politik, investor swasta atau asing akan menahan diri sembari menunggu hasil Pemilu Presiden. Kalaupun ada investasi, kemungkinan besar itu adalah investasi BUMN,” kata Fabby.

Subroto mengatakan, peralihan energi fosil menuju energi bersih di Indonesia harus terus dijalankan. Salah satu caranya dengan mempercepat penggunaan listrik di sektor transportasi. Penggunaan energi fosil, seperti minyak, batubara, dan gas, mempercepat pemanasan global dan menimbulkan perubahan iklim.

Dalam Kebijakan Energi Nasional, target kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional di 2025 adalah sebesar 23 persen. Angka itu setara dengan kapasitas daya listrik terpasang sebesar 45.000 megawatt. Adapun capaian saat ini masih di bawah 10 persen.

Sumber: Kompas.id.

Share on :