IESR: Pilpres 2019 Hambat Pengembangan Energi Terbarukan

Para narasumber dalam acara ‘Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlook 2018’ di Jakarta, Rabu (19/12). (Foto: VOA/Ghita).

Institute Essentials Services Reform (IESR) mencatat tidak ada kemajuan yang berarti dalam pengembangan energi terbarukan di tahun 2018. Diperkirakan 2019 laju energi terbarukan akan semakin terhambat, karena merupakan tahun politik.

JAKARTA (VOA) — Perkembangan energi terbarukan di Indonesia berjalan stagnan, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Pemerintah masih terus mengeksploitasi energi fosil, untuk membangun pembangkit tenaga listrik, padahal ada banyak potensi sumber energi yang bisa digunakan, yang jauh lebih ramah lingkungan.

Direktur Eksekutif Institute Essentials Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan hal ini terjadi karena regulasi yang tidak cukup menarik para investor, untuk mau menanamkan modal dalam pengembangan energi terbarukan. Selain itu terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable, menyebabkan sulitnya akses pendanaan karena pihak perbankan yang tidak mau mengambil resiko tinggi. Ditambahkannya, pemerintah seringkali tidak konsisten dalam implementasi kebijakan sehingga ada banyak proyek energi terbarukan yang mandek atau bahkan dihentikan.

Hal itu disampaikannya dalam acara Indonesia Clean Energy Outlook 2019, di Jakarta, Rabu (19/12).

Pada tahun 2019, Fabby pesimis pengembangan energi terbarukan akan lebih baik. Pasalnya, pada tahun politik isu energi merupakan isu yang sensitif, sehingga ia tidak melihat bahwa pemerintah akan membuat suatu gebrakan yang bisa mendorong perkembangan energi terbarukan kedepannya.

Padahal pemerintah – lewat Kebijakan Energi Nasional 2014 dan Rencana Energi Nasional 2017 – menargetkan pencapaian 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025 nanti.

“2019 diperburuk ini dengan tahun politik, kita nggak melihat adanya terobosan, inovasi, dan ini memang membuat kondisi 2019 ya tidak terlalu menarik. Bisa menarik, kalau apa? Perlu ada re-afirmasi komitmen dari pemerintah khususnya ini dari Presiden yang mengatakan kita komit untuk melaksanakan renew, PLN harus dorong penggunaan energi terbarukan, regulasi yang menghambat investasi harus disingkirkan, itu semangatnya Presiden mendorong investasi khususnya FDI, yang memang diperlukan,” ungkap Fabby.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Desa Oelpuah, Kupang (Foto: Antara). Pemerintah dinilai belum mempunyai komitmen kuat dan kesiapan dalam mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Menteri ESDM Sudirman Said pun mengatakan bahwa Indonesia memang tidak siap untuk mengembangkan energi terbarukan. Ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang tidak memberi insentif pada investor, serta tidak kompaknya para stakeholder yang terkait.

Menurutnya, pemerintah harus mulai dari sekarang membangun infrastruktur energi terbarukan karena hal itu akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar. Dengan begitu, jalan menuju transisi energi fosil ke renewable energi akan semakin terbuka lebar di masa depan, sehingga resiko pemanasan global pun bisa berkurang.

“Tapi yang paling penting bagi kita, kita segera memulai membangun yang saya sebut ekosistem, dari renewable, clean energy yang itu jelas lebih sustainable, berdampak pada jangka panjang dan juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, ini yang menjadi tantangan kita sekarang,” kata Sudirman.

Kepala Divisi Energi Baru dan terbarukan PT PLN (Persero) Zulfikar Manggau mengatakan pihaknya tetap pada komitmen untuk membangun pembangkit tenaga listrik dari energi terbarukan. Saat ini, kata Zulfikar, sudah sebanyak 11 persen pembangkit tenaga listrik dari energi terbarukan yang mengalirkan listrik kepada masyarakat yang terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), panas bumi atau geothermal, lalu pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan juga pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

Kedepan, pihaknya berencana untuk lebih mengembangkan PLTB karena Indonesia punya potensi tersebut, salah satunya ada di wilayah Kalimantan.

“Pengembangan EBT tetap kita konsisten, kita sudah membuat rencana 10 tahun RUPTL bahwa tahun depan kita mengupayakan untuk mengoperasikan pembangkit yang saat ini sedang dibangun itu mendekati 1.000 MW. Saat ini yang existing angkanya masih 6.000 MW yang operasi dibandingkan memang masih kurang lebih 11 persen dari total pembangkit PLN yang kurang lebih 56 ribu saat ini, 10 tahun kedepan kita juga total pembangkit 6.000 MW, 15 ribu di antaranya EBT, jadi kita tetap fokus membangun EBT tapi tentu banyak kendala yang harus diselesaikan sama-sama,” ujar Zulfikar.

Zulfikar mengatakan dibutuhkan regulasi dari hulu ke hilir yang akan mendukung implementasi dari perkembangan energi terbarukan ini, seperti subsidi langsung contohnya. Agar masyarakat pun mau beralih untuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan tersebut sehingga akan ada demand dalam penggunaan energi ini. (gi/em)

Sumber: voaindonesia.com.

Share on :