Urgensi Energi Terbarukan dan Bangunan Hijau di Tengah Krisis Iklim

Krisis Iklim, Freepik

Jakarta, 31 Juli 2024 – Seiring krisis iklim yang semakin nyata, optimalisasi transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan menjadi sebuah keharusan. Berdasarkan laporan Kementerian ESDM, bauran energi Indonesia masih didominasi oleh batubara dan minyak bumi. Pada 2023, bauran batubara dalam energi primer nasional mencapai 40,46 persen, dan minyak bumi 30,18 persen. Sementara itu, bauran gas bumi 16,28 persen, dan energi baru terbarukan (EBT) paling kecil, yakni 13,09 persen. Padahal, dengan potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia bisa lebih mengurangi ketergantungannya pada energi fosil dan beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Muhammad Hanif, Ketua Generasi Energi Bersih (GEN-B) Surabaya, memaparkan bahwa Indonesia mempunyai potensi energi terbarukan yang berlimpah, mencapai sekitar 3.687 GW berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Potensi tersebut terdiri dari energi surya sebesar 3.294 GW, hidro 95 GW, bioenergi 57 GW, bayu (energi angin) 155 GW, potensi panas bumi 23 GW, potensi laut 63 GW. Potensi EBT tersebut sangat besar, tersebar, dan beragam.

“Salah satu contoh penggunaan energi terbarukan yakni energi bayu yang bisa memberikan dampak signifikan adalah di Kabupaten Nganjuk. Nganjuk dikenal sebagai kota angin dan merupakan penghasil bawang merah terbesar kedua di Indonesia. Petani bawang merah di Nganjuk menghadapi masalah serius dengan hama ulat grayak, yang sering kali mengakibatkan gagal panen. Untuk menghindari hal ini, petani biasanya menyiram ladang dengan pestisida rata-rata tiga kali sehari, yang mahal dan merusak lapisan tanah,” ujar Hanif dalam SustainergyX: Ekspresikan Diri dengan Energi Terbarukan Hari Kedua, pada Minggu (21/7/2024)

Menurut Hanif, beberapa petani telah berinovasi menggunakan jebakan lampu dan wadah air untuk menenggelamkan hama. Metode ini efektif dalam mengurangi penggunaan pestisida hingga 70 persen dan meningkatkan produksi bawang merah. Namun, masih banyak petani yang belum bisa memanfaatkan inovasi ini karena tidak ada akses listrik. Untuk itu,  turbin angin skala kecil bisa menjadi solusi yang sangat bermanfaat. Dengan memanfaatkan potensi angin yang ada, petani bisa mendapatkan akses listrik untuk menerangi jebakan hama mereka tanpa harus bergantung pada jaringan listrik utama. Ini tidak hanya akan membantu mengurangi penggunaan pestisida, tetapi juga mendorong pemanfaatan energi terbarukan di tingkat lokal.

Tak hanya itu, Indonesia, dengan kekayaan alam yang melimpah, memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya bioenergi. Bioenergi adalah bentuk energi yang dihasilkan dari bahan organik, seperti sisa-sisa tanaman, kayu, dan limbah pertanian. Riza Egi Arizona, Asisten Program Bioenergi Berbasis Komunitas di Madani Berkelanjutan, menyatakan bahwa meski pengembangan sektor bioenergi dapat berkontribusi terhadap pemenuhan target energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025, pemerintah perlu mengedepankan aspek keberlanjutan.

“Namun demikian, perlindungan hutan dan lahan gambut perlu menjadi bagian integral dari kebijakan biofuel di Indonesia. Hutan dan lahan gambut Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan karbon yang penting, tetapi juga sebagai habitat bagi berbagai flora dan fauna. Pengembangan bioenergi yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan dapat mengancam ekosistem ini, menyebabkan deforestasi, degradasi lahan, dan hilangnya keanekaragaman hayati,” ungkap Riza. 

Untuk itu, kata Riza, pengembangan bioenergi harus dilakukan dengan pendekatan yang berkelanjutan, mengintegrasikan praktik-praktik pengelolaan hutan yang baik, dan melibatkan komunitas lokal dalam prosesnya. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pengembangan bioenergi tidak merusak lingkungan, tetapi justru mendukung upaya pelestarian alam.

Di lain sisi, Delilah Ivo Swaraswati, Marketing Executive Pristinz Indonesia mengatakan, di tengah krisis iklim, penerapan bangunan hijau bukan hanya menjadi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk masa depan yang berkelanjutan. Dengan suhu bumi yang semakin panas, bangunan di Indonesia terus bergantung pada sistem pendingin, yang menyumbang setidaknya 60 persen dari konsumsi energi dalam bangunan. Hal ini menambah keprihatinan karena sektor bangunan berkontribusi terhadap 40 persen emisi karbon secara global.

“Untuk mengurangi dampak negatif dari sektor bangunan, beberapa parameter penting dalam penerapan bangunan hijau perlu diterapkan. Pertama, tepat guna lahan. Kedua, konservasi air, yang artinya penggunaan teknologi hemat air, seperti keran dan toilet bertekanan rendah, serta pemanfaatan air hujan untuk keperluan non-konsumsi dapat mengurangi konsumsi air secara signifikan. Ketiga, sumber dan siklus material, di mana penggunaan material bangunan yang ramah lingkungan dan memiliki siklus hidup panjang sangat dianjurkan. Keempat, kesehatan dan kenyamanan dalam ruang. Kelima, manajemen lingkungan bangunan, sistem manajemen lingkungan yang baik juga mencakup perawatan bangunan secara rutin untuk menjaga performa lingkungan bangunan tetap optimal,” ujar Delilah.

energi terbarukan, bangunan hijau, krisis iklim, bioenergi, PLTS, efisiensi energi, berkelanjutan, kota hijau

Share on :

Leave a comment