Mewujudkan Partisipasi Inklusif dalam Transisi Energi

Jakarta, 18 Juli 2024 – Transisi energi adalah sebuah keniscayaan. Kemajuan teknologi membuat teknologi bersih yang menghasilkan energi terbarukan semakin terjangkau. Tantangan pembiayaan awal (upfront cost) yang besar untuk bertransisi energi memerlukan strategi yang inklusif sehingga dapat merangkul seluruh kelompok. 

Energi adalah kebutuhan semua orang dan merupakan penggerak roda ekonomi, mengharuskan seluruh warga mendapatkan akses yang mudah. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bekerjasama dengan Australia National University (ANU), SMERU Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) membuat kajian Towards Inclusive Energy Transition in Indonesia. Kajian ini melihat potensi implikasi rencana transisi energi direpresentasikan oleh target net zero emission (NZE), terhadap kelompok rentan terutama rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan dan disabilitas.

Alin Halimatussadiah, principal investigator (pemimpin) dari studi tersebut menjelaskan bahwa kajian ini memilih untuk fokus pada aspek inklusi dan bukan berkeadilan (just) karena saat ini belum ada panduan definisi apa itu transisi berkeadilan. Studi ini menemukan bahwa dalam upaya mencapai target NZE pada tahun 2060 ataupun 2050 membawa implikasi pada tingkat kemiskinan dan kesenjangan dalam jangka waktu singkat hingga menengah.

“Temuan utama studi ini adalah pentingnya intervensi pemerintah untuk memastikan tidak terjadi kesenjangan sosial ekonomi dalam jangka panjang saat proses transisi ini berlangsung,” jelas Alin.

Raditya Wiranegara, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR), menanggapi aspek inklusi dalam transisi energi dengan mengetengahkan fakta bahwa saat ini diskusi tentang transisi energi masih bersifat elit dan terjadi di level nasional. 

“Diskusi transisi energi perlu  terjadi di level (pemerintah) sub-nasional untuk menyiapkan kapasitas institusional dari pemerintah sub-nasional dalam menghadapi transisi energi ini,” katanya. 

Raditya juga menambahkan dalam rencana transisi perlu memetakan berbagai pilihan pekerjaan alternatif bagi masyarakat lokal terutama yang bermata pencaharian informal dari industri pertambangan. 

Pembuatan kebijakan tentang mitigasi dampak transisi energi mendesak untuk dilakukan mengingat dampak transisi energi menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Kelompok rentan, termasuk namun tidak terbatas pada kelompok perempuan dan disabilitas, akan merasakan dampak transisi energi yang lebih besar. 

“Kami (kelompok disabilitas-red) baru akan memetik manfaat dari transisi energi ini jika kami dapat mengakses informasinya, dilibatkan dalam diskusi sehingga kami juga dapat mengawasi prosesnya,” ungkap Fatum Ade, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia.

Elly Silaban, Ketua Konfederasi Serikat Buruh Indonesia, menekankan pentingnya partisipasi bermakna dari setiap kelompok yang akan terdampak dari transisi energi.

“Partisipasi ini harus terwujud dengan masuknya usulan dan kepentingan semua pihak dalam poin-poin dokumen perencanaan yang dibuat. Hadir saja dalam proses pembuatan dokumen kebijakan belum dapat dikatakan proses tersebut partisipatif,” kata Elly.

Share on :

Leave a comment