Kamis, 25 Juli 2024 – Asia Tenggara merupakan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi global. Wilayah ASEAN, yang merupakan ekonomi terbesar ketiga di Asia setelah China dan India, diperkirakan akan berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan konsumsi energi global di masa depan, menurut IRENA (2022). Kebijakan yang diadopsi oleh negara-negara Asia Tenggara akan memiliki dampak substansial terhadap komposisi energi masa depan wilayah ini dan emisi gas rumah kaca.
Namun, terdapat berbagai tantangan yang dapat mengaburkan jalan Asia Tenggara untuk mencapai net zero emission (NZE). Secara teknis, faktanya batubara masih menjadi sumber energi utama di wilayah ini, dimana menurut ACE (2024), penggunaan batubara sebagai sumber energi sampai tahun 2050 diprediksikan masih akan sebesar 11% – 21%. Selain itu, adanya narasi terkait isu keamanan energi melalui penggunaan teknologi batubara bersih (CCT), teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS & CCUS) (Purwanto, A.J, 2023). Kedua hal ini menantang urgensi untuk rencana yang lebih ambisius dan berorientasi pada energi terbarukan. Di sisi lain, kebijakan non-intervensi dalam diplomasi ASEAN, yang mengutamakan proses yang didorong oleh negara, membuat upaya mitigasi perubahan iklim kurang dibahas sebagai kerja kolektif dalam badan regional tersebut.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengisyaratkan bahwa kerja sama di antara lembaga pemikir dan organisasi masyarakat sipil di seluruh Asia Tenggara, yang dimulai oleh IESR dengan nama Koalisi Transisi Energi Asia Tenggara (Southeast Asia Energy Transition Coalition), dapat menjadi titik tolak untuk mempercepat transisi energi di wilayah ini.
“Bekerja secara kolektif sebagai aktor perantara di negara kita masing-masing dapat menjadi strategi untuk mempercepat transisi energi di wilayah asia tenggara dengan mempengaruhi pembuat kebijakan untuk menetapkan tujuan yang lebih ambisius dalam mencapai NZE,” kata Fabby, dalam Pertemuan Virtual Pertama Southeast Asia Energy Transition Coalition, pada 25 Juli yang lalu.
Menurut Fabby, aktor intermediary, sebagai wakil dan mediator antara publik dan urusan publik, memiliki kekuatan untuk mendukung sistem. Dalam konteks transisi energi, mitra koalisi ini akan berperan sebagai pengawas kebijakan dan pengimbang yang penting. Koalisi dengan berbagai keahlian dalam penelitian ilmiah, advokasi kebijakan, kampanye, dan penyuluhan, dapat membantu negara-negara ASEAN mendorong transisi energi rendah karbon dan mencapai NZE pada tahun 2050 atau lebih cepat di wilayah ini.
Pergerakan koalisi ini terdiri dari delapan organisasi dari Thailand, Filipina, Malaysia, Singapore, dan Indonesia. Meliputi; Energy Research Institute – Chulalongkorn University, SDG Move Sirindhorn International Institute of Technology (SIIT) – Thammasat University, Institute for Climate and Sustainable Cities, Solar Energy Research Institute (SERI) – Universiti Kebangsaan Malaysia, Institute of Energy Policy and Research (IEPRe) – Universiti Tenaga Nasional, Institute for Environment and Sustainability (IES) – LKY National University of Singapore, dan Insitute for Essential Services Reform (IESR).