Jakarta, 27 Agustus 2024 – Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam melakukan dekarbonisasi di tengah krisis iklim yang semakin mendesak, terutama terkait dengan ketergantungannya pada energi fosil dan infrastruktur energi yang sudah ada. Untuk mencapai dekarbonisasi yang cepat dan dalam skala besar, Indonesia perlu mengatasi berbagai tantangan struktural. Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam acara Indonesia Net Zero Summit 2024 yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) pada Sabtu (24/8/2024).
“Sebagai contoh rata-rata usia Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di Indonesia saat ini adalah antara 12 hingga 14 tahun, masih muda dibandingkan usia ekonomi (dari PLTU batubara, red) yang umumnya mencapai 30 tahun. Jika Indonesia ingin mengakhiri operasional PLTU lebih awal dari usia ekonominya, diperlukan kompensasi ekonomi (someone has to pay, red) karena terdapat nilai investasi yang belum kembali. Selain itu, data pemerintah menunjukkan bahwa sekitar 99 persen wilayah Indonesia sudah teraliri listrik, tetapi tetap ada 1,6 persen yang belum memiliki akses listrik. Tantangan ini semakin diperburuk oleh ketidakmerataan akses energi di daerah-daerah terpencil, yang seringkali tidak mendapatkan pasokan listrik 24 jam sehari,” imbuh Fabby.
Lebih lanjut, Fabby mengatakan, tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah tingginya biaya penyediaan listrik di daerah terpencil, khususnya daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Pembangunan infrastruktur listrik di daerah-daerah ini, termasuk biaya bahan bakar, sangat mahal. Ironisnya, subsidi listrik yang diterima oleh daerah-daerah tersebut seringkali lebih rendah, sehingga pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
“Kompleksitas ini membuat transisi energi di Indonesia menjadi lebih berat dibandingkan dengan negara-negara lain. Luasnya wilayah Indonesia dan beragamnya kondisi geografis menambah tantangan dalam mencapai dekarbonisasi yang cepat dan efektif. Oleh karena itu, diperlukan inovasi dalam pengembangan teknologi dan kebijakan untuk mendukung transisi energi yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” kata Fabby.
Menurut Fabby, Pemerintah Indonesia sejauh ini telah berusaha memenuhi kebutuhan akses listrik, terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau. Namun, langkah-langkah inovatif dan pendekatan baru sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa transisi energi yang sedang berlangsung dapat menjawab tantangan yang ada dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
“Indonesia juga memiliki potensi teknis energi terbarukan yang cukup besar, setidaknya 7.879,4 GW berdasarkan studi IESR berjudul Beyond 443 GW. Untuk itu, saya ingin mendorong pentingnya pengembangan energi terbarukan di skala komunitas, tidak hanya fokus pada pengembangan secara besar-besaran. Misalnya kita bisa mengembangkan pembangkit listrik di skala minihidro, mikrohidro, pikohidro, di mana teknologinya juga ada dan murah. Upaya transisi energi ini bisa dilakukan gotong royong apabila setiap komunitas memanfaatkan potensi energi terbarukan di daerahnya,” jelas Fabby.