Bali, 29 Agustus 2024 – Pembangunan ekonomi Asia Tenggara diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat dari USD 3,1 triliun pada tahun 2021 menjadi USD 10,5 triliun pada tahun 2050 (GECF, 2023).Sebagai penggerak pembangunan, sektor energi memainkan peran penting, namun sayangnya bahan bakar fosil tetap menjadi hal penting dalam Rencana Aksi ASEAN untuk Kerja Sama Energi (APAEC).
Jika tidak ada perubahan kebijakan substansial dalam transisi energi yang diterapkan, ketergantungan ASEAN pada bahan bakar fosil akan menyebabkan emisi sebesar 2,70 GtCO2e pada tahun 2050 (ACE, 2022). Emisi ini dapat mengakibatkan kerugian ekonomi dan non-ekonomi, serta peningkatan dampak perubahan iklim di kawasan tersebut. Diperkirakan juga a pada tahun 2050, ASEAN mungkin mengalami penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar 35% sebagai akibat dari krisis iklim (Renault et al, 2021). Dengan demikian, kebijakan iklim dan energi yang diterapkan oleh Negara Anggota ASEAN akan secara signifikan mempengaruhi komposisi energi masa depan dan emisi gas rumah kaca di kawasan tersebut.
Pendekatan diplomatik ASEAN yang bercirikan prinsip non-intrusif menimbulkan tantangan dalam pelaksanaan upaya kolektif regional karena terbatasnya kewenangan governing body untuk mengatur kebijakan internal masing-masing negara. Oleh karena itu, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menjelaskan bahwa dari tantangan diplomatik tersebut bisa menjadi kesempatan untuk koalisi ini untuk mendorong target nol emisi yang lebih ambisius di negara-negara anggota ASEAN karena hal tersebut akan memperkuat posisi Asia Tenggara dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon.
“Inisiatif Southeast Asia Energy Transition Coalition (SETC) menjadi peluang bagi kawasan Asia Tenggarauntuk mempromosikan target nol bersih yang lebih ambisius di masing-masing negara mitra koalisi ini. Kerja kolaboratif ini berasal dari lembaga pemikir dan organisasi masyarakat sipil dari Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Filipina, dan Indonesia. e Lembaga-lembaga yang tergabung dalam koaliis ini merupakan aktor yang berpengaruh di negara-negara tersebut, koalisi ini dapat merangkul kebijakan lokal untuk mempercepat upaya bersama kita dalam transisi energi,” kata Fabby.
Titik leverage ini, juga disebutkan oleh Benjamin Cashore, Direktur Institute for Environment and Sustainability (IES) – Lee Kuan Yew School of Public Policy, NUS, mengatakan bahwa lavarage tingkat mikro yang inovatif akan berdampak untuk membuat perubahan tingkat makro (Cashore, 2021).
“Kolaborasi regional dalam inisiatif ini, jelas dapat menjadi praktik terbaik dari tindakan inovatif tingkat mikro yang akan menguntungkan perubahan tingkat makro,” kata Marilistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR.
Koalisi anggota, yang telah berkontribusi pada kebijakan transisi energi negara tersebut, telah sepakat bahwa rencana kerja koalisi yang akan datang ini akan menguntungkan kawasan tersebut dengan berfungsi sebagai kendaraan strategis untuk mendukung kepemimpinan transisi energi Asia Tenggara dan memajukan transisi energi.
Akhirnya, keberadaan SETC diharapkan untuk dapat mempromosikan Asia Tenggara menjadi pemimpin iklim di dunia dan dapat menjadi kawasan kuat yang secara aktif mengurangi emisinya, karena koalisi ini memiliki identitas sebagai enabler dan katalisator di Asia Tenggara.