Jakarta, 6 September 2024 – Peralihan dari kendaraan bermesin bakar internal (ICE) ke kendaraan listrik (EV) adalah langkah penting dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Meski transisi ini tidak terjadi secara instan, perubahan perilaku, pemikiran, dan teknologi harus dilakukan secara bertahap.Hal ini diungkapkan Ilham F Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, Institute for Essential Services Reform (IESR) di open stage Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2024 pada Jumat (6/9/2024).
“Infrastruktur dan kebijakan yang mendukung kendaraan listrik, serta teknologi yang ramah lingkungan dan terjangkau sangat diperlukan. Selain itu, sumber daya manusia yang mumpuni di industri kendaraan listrik juga menjadi kunci utama untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan,” ujar Ilham.
Saat ini penjualan kendaraan listrik terus meningkat. Mengutip data Gaikindo, penjualan mobil listrik nasional mencapai 17.826 unit pada Januari-Juli 2024, naik 157,30% dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun ada peningkatan, Ilham mengatakan, rasio antara kendaraan listrik dan stasiun pengisian umum masih belum ideal. Idealnya, ada 10 stasiun pengisian untuk setiap satu kendaraan listrik, namun saat ini rasionya baru mencapai 1:17. Menurut Ilham, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan beberapa produsen kendaraan, seperti Wuling, telah memberikan insentif untuk pemasangan pengisian daya di rumah, sebagai solusi sementara sambil menunggu infrastruktur pengisian umum diperbaiki.
“Selain itu, penting untuk mempertahankan komitmen pemerintah terhadap pengembangan kendaraan listrik, meskipun akan ada pergantian pemerintahan. Keberlanjutan kebijakan ini sangat penting agar insentif maupun kebijakan yang mendorong ekosistem kendaraan listrik yang sudah ada, bisa terus berlanjut dan berkembang,” kata Ilham.
Di lain sisi, pertumbuhan kendaraan listrik dapat berdampak pada sistem ketenagalistrikan. Selain berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca, adopsi kendaraan listrik juga akan membawa permintaan listrik tambahan. Studi IESR berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (2023) menunjukkan, pada skenario percepatan kebutuhan listrik untuk transportasi darat mencapai 136 TWh pada 2030 dan 499 TWh pada 2050 sekitar 15 kali lebih besar dari proyeksi RUEN. Dengan kondisi demikian, kendaraan listrik dan kebutuhan listriknya perlu dilihat sebagai cara untuk meningkatkan fleksibilitas sistem ketenagalistrikan, dengan melakukan sinkronisasi pengisian daya kendaraan listrik saat beban (load) sedang rendah.