Infrastruktur Sebagai Prioritas untuk Mengakselerasi Mobilitas Hijau di Indonesia

Makassar, 22 September 2024– Dampak dari krisis iklim sudah dirasakan secara nyata di Indonesia. Solusi yang inovatif menjadi kebutuhan terbesar untuk memitigasi dampak krisis iklim di Indonesia. Dalam menjawab tantangan ini, Society of Renewable Energy (SRE) Universitas Sultan Hasanuddin menyelenggarakan Student Innovation Competition in Climate, Energy, and Sustainability (SICLUS) dengan tema “Visi Kota Masa Depan” (22/9/2024) Melalui kompetisi ini, generasi  muda dapat kembali membayangkan kota-kota yang berkelanjutan, memiliki ketahanan dan efisien. 

Pada akhir kompetisi, SRE Universitas Sultan Hasanuddin mengadakan Xpertise Talk, mengundang para ahli untuk membagikan pengetahuannya, memperkuat kolaborasi dan mempromosikan pentingnya partisipasi aktif dari pelajar di Indonesia dalam bertransisi energi. Memberikan ruang partisipatif bagi generasi muda merupakan salah satu prinsip dari transisi energi berkeadilan. 

Fadhil Ahmad Qamar, Staf Proyek Clean, Affordable and Secure Energy (CASE), Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa tingginya pertumbuhan emisi telah mengubah sektor transportasi menuju penggunakan mode transportasi yang rendah emisi dan efisien energi. Perubahan itu termasuk menggunakan kendaraan listrik, transportasi publik, kendaraan efisien bahan bakar, serta transportasi aktif (berjalan atau bersepeda). Namun, untuk menerapkan mobilitas hijau di Indonesia, infrastruktur masih menjadi tantangan terbesar. 

“Indonesia masih belum memiliki kemampuan sektor industri antara yang mumpuni untuk penngembangan baterai. Industri dalam negeri untuk teknologi-teknologi ini harus lebih dikembangkan, agar Indonesia dapat berperan aktif, tidak hanya sebagai konsumen. Baterai skala industri yang kita miliki industrinya,” jelas Fadhil, mengutip Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023. 

Salah satu contoh mobilitas hijau adalah Provinsi Agats di Asmat, Papua. Hampir seluruh motor di Agats merupakan kendaraan listrik, karena pasokan bahan bakar minyak yang sedikit untuk motor konvensional. Terlebih, dalam penggunaan motor listrik, infrastruktur yang dimiliki juga belum memadai, seperti pengisian daya publik. Meskipun demikian, masyarakat Agats tetap memilih kendaraan listrik. 

Lebih jauh, Fadhil mengatakan bahwa tantangan terakhir adalah biaya. Meskipun biaya pembelian kendaraan listrik lebih mahal dari kendaraan konvensional, total biaya (termasuk perawatan dan bahan bakar) lebih murah. 

“Total biaya kepemilikan motor selama satu masa hidup sebesar Rp 857/km, sedangkan motor listrik Rp 794/km atau 7% lebih rendah. Untuk mobil, total biaya sekitar Rp 5060/km dan mobil listrik sekitar Rp 4348/km atau 14% lebih rendah,” kata Fadhil. 

Share on :

Leave a comment