Tenaga Kerja Indonesia dalam Transisi Energi: Perlu Pemetaan dan Intervensi Pemerintah

Menavigasi dampak sosial-ekonomi adalah salah satu tantangan dalam agenda transisi energi Indonesia, karena kontribusi besar sistem energi saat ini terhadap perekonomian nasional dan struktur sosial masyarakat. Perekonomian Indonesia telah lama bergantung pada industri bahan bakar fosil, di mana minyak, gas, dan batu bara menjadi sumber energi utama serta penyumbang signifikan terhadap PDB, pendapatan negara, lapangan kerja, dan mata pencaharian masyarakat di daerah penghasil batu bara (ESDM, 2019; IESR, 2023). Beralih ke sumber energi terbarukan tanpa menyebabkan gangguan ekonomi dan sosial menjadi tantangan besar bagi negara penghasil batu bara seperti Indonesia.

Namun, transisi energi tidak hanya menghadirkan tantangan, tetapi juga peluang karena adanya potensi penciptaan lapangan kerja baru dan proyeksi keuntungan bersih dalam jumlah pekerjaan. ILO memperkirakan bahwa sekitar 6 juta pekerjaan mungkin hilang pada tahun 2030 akibat transisi ke ekonomi hijau, namun sekitar 24 juta pekerjaan baru diproyeksikan akan tercipta di seluruh dunia (ILO, 2018a). Secara nasional, pekerjaan baru diperkirakan akan tumbuh mencapai antara 2,1 juta hingga 3,7 juta pekerjaan langsung di sektor energi terbarukan pada tahun 2030, dengan tambahan hingga 0,5 juta pekerjaan tidak langsung di sektor-sektor lain yang mendukung sektor energi terbarukan di Indonesia (GGGI, 2020). Untuk memanfaatkan peluang ini sepenuhnya, penting untuk mengidentifikasi tantangan ketenagakerjaan selama transisi guna mengembangkan strategi yang tepat.

Apa saja tantangan terkait ketenagakerjaan dalam transisi energi?

Pertama, masalah kesenjangan (gap) keterampilan di kalangan tenaga kerja. Meskipun Indonesia memiliki jumlah pekerja yang cukup untuk sektor kelistrikan dalam untuk waktu yang panjang, masih ada kekurangan keterampilan untuk memenuhi kompetensi inti yang diperlukan dalam menghadapi tuntutan baru dan perkembangan teknologi, seperti pengembangan proyek, desain dan perencanaan sistem, konstruksi dan implementasi, pengujian dan commissioning, serta keterampilan operasional dan pemeliharaan (ADB, 2021). Sektor lain di luar sektor kelistrikan, seperti industri otomotif, transportasi, dan perikanan, kurang mendapat perhatian terkait potensi kontribusinya terhadap ekonomi hijau, yang menyebabkan kebutuhan keterampilan tidak teridentifikasi (ILO, 2018b). Secara umum, ada empat keterampilan yang penting untuk pekerjaan hijau: teknis engineering, ilmu pengetahuan, manajemen operasi, dan keterampilan monitoring, yang juga tersedia dalam platform pelatihan (Prakerja, 2024). Namun, kebutuhan spesifik ketenagakerjaan dalam transisi energi baik di tingkat nasional maupun lokal masih belum teridentifikasi.

Kedua, kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba yang menyebabkan gangguan mata pencaharian, terutama di daerah penghasil batu bara. Transisi energi diperkirakan akan menyebabkan PHK sekitar 30.000 pekerja tambang di Indonesia antara tahun 2020 hingga 2040 (Global Energy Monitor, 2023), yang mengakibatkan kesulitan ekonomi dan gangguan sosial di komunitas yang terkena dampak. Mengatasi tantangan ini membutuhkan kebijakan transisi yang komprehensif yang menyediakan dukungan bagi pekerja terdampak, termasuk program pelatihan ulang, bantuan penempatan kerja, dan dukungan keuangan (ILO, 2018a).

Ketiga, kurangnya regulasi yang stabil dan mendukung untuk pengembangan sumber daya manusia dalam transisi energi. Pengembangan regulasi yang stabil dan mendukung sangat penting untuk memfasilitasi transisi ke tenaga kerja yang terampil dan adaptif yang mampu mendorong transisi energi terbarukan (Bank Dunia, 2018). Kurangnya kerangka kerja nasional yang terintegrasi untuk mengantisipasi pekerjaan hijau di berbagai sektor serta kurangnya kebijakan ketenagakerjaan terkait pengembangan keterampilan untuk pekerjaan hijau masih menjadi kesenjangan besar untuk mempersiapkan tenaga kerja Indonesia dalam transisi energi (ILO, 2018b).

Apa yang harus dilakukan pemerintah?

Indonesia memiliki regulasi yang mengatur ketenagakerjaan dan dampak sosial dalam transisi energi. Misalnya, pengintegrasian target net-zero dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045 dapat menjadi panduan perencanaan pembangunan yang sejalan dengan agenda dekarbonisasi, asalkan diimplementasikan secara efektif. Selain itu, ada regulasi ketenagakerjaan yang mendukung mitigasi dampak, seperti: 1) UU No. 13 Tahun 2003 dan Perppu No. 2 Tahun 2022 yang menjamin perlindungan sosial dengan memberikan hak atas pesangon; 2) Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Sislatkernas), yang diatur dalam PP No. 31 Tahun 2006, mendukung pengembangan keterampilan untuk pekerjaan baru; dan 3) regulasi terbaru yang mulai menerapkan prinsip partisipasi bermakna dalam pembentukan peraturan di setiap tingkatan, memfasilitasi dialog sosial dan partisipasi masyarakat (PSHK, 2023). Meskipun regulasi mendukung, implementasi yang efektif melalui kebijakan operasional dan panduan proyek diperlukan.

Kebijakan operasional dan panduan harus diintegrasikan ke dalam peta jalan ketenagakerjaan nasional Indonesia untuk transisi energi. Mengingat saat ini belum adanya peta jalan tersebut, pengembangannya perlu dipercepat untuk memastikan bahwa pedoman disesuaikan dengan konteks lokal. Kementerian Ketenagakerjaan harus memimpin identifikasi kebutuhan dan kesenjangan ketenagakerjaan bekerja sama dengan Bappenas di tingkat nasional dan dengan kementerian terkait lainnya di tingkat sektoral (ILO, 2018b). Setelah peta jalan selesai, strategi holistik untuk menerapkannya harus diimplementasikan di seluruh badan pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Ketenagakerjaan.

Share on :

Leave a comment