Perubahan iklim telah terjadi dimana-mana. Dampaknya berupa cuaca ekstrim sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Banjir yang terjadi di Magdeburg, Jerman, bulan Juni yang lalu juga menjadi salah satu dampak dari perubahan iklim. Walau demikian, tidak banyak orang yang membicarakan mengenai pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Walaupun adaptasi lebih sulit untuk diukur dibandingkan dengan upaya mitigasi, namun kebutuhan pendanaannya jauh lebih besar daripada mitigasi. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan bagian dari Indonesia Climate Change Alliance (ICA), mengadakan diskusi mengenai pendanaan adaptasi perubahan iklim, terutama di Indonesia. Diskusi ini mengambil tempat di Hotel Cemara, dan dilangsungkan pada tanggal 26 Juli 2013 yang lalu. Diskusi ini dihadiri oleh Bapak Ari Mochamad, Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi dari Dewan Nasional Perubahan Iklim. Juga Bapak Raphael Anindito dari GIZ, serta Ibu Wahyuningsih Darajati dari Bappenas.
Diskusi dibuka oleh Bapak Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Dalam pembukaannya, Fabby menyatakan pentingnya untuk membicarakan tentang pendanaan adaptasi perubahan iklim, mengingat di tingkat internasional, ada gelagat yang menunjukkan penipisan dana untuk adaptasi perubahan iklim. Contoh saja Adaptation Fund, yang sumber pendanaannya berasal dari 2% hasil transaksi karbon untuk Clean Development Mechanism. Estimasi dana untuk Adaptation Fund, pada awalnya bisa mencapai hingga ratusan miliar dollar per tahun, dengan perkiraan harga karbon sampai dengan 30 euro per tonnya, ternyata meleset sangat jauh. Harga karbon di pasar karbon Eropa turun drastis hingga 4-5 euro. Di lain pihak, apabila semua orang enggan untuk membicarakan mengenai pendanaan untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim, lalu bagaimana mengatasi dampak-dampak perubahan iklim yang akan terjadi di kemudian hari? Terutama bagi negara berkembang yang kapasitasnya masih sangat terbatas.
Bapak Ari Mochamad memberikan gambaran mengenai permasalahan adaptasi dan kebutuhan pendanaan adaptasi di Indonesia. Ari menyatakan bahwa sekarang dampak perubahan iklim sudah semakin nyata, dan bukan hanya negara berkembang saja yang mengalaminya, negara maju pun mengalaminya. Hal ini membuat banyak pikiran negatif mengenai apakah negara maju akan memenuhi komitmen mereka untuk memobilisasi dana perubahan iklim bagi negara berkembang, hingga USD 100 miliar per tahunnya. Kota New York contohnya, mereka harus mengalokasikan sebesar USD 20 miliar, akibat bencana yang dialami beberapa waktu lalu. Kehilangan sejumlah besar uang untuk membenahi situasi dalam negeri, sedikit banyak mempengaruhi keputusan negara maju untuk mengalirkan dana mereka kepada negara berkembang.
Banyak hal yang seringkali salah dimengerti orang, menganggap bahwa adaptasi adalah isu yang sama sekali terpisah dengan isu mitigasi, merupakan salah satunya. Pada dasarnya adaptasi dan mitigasi bukanlah dua hal yang dapat dipisahkan, karena keduanya memiliki dampak dan saling mempengaruhi dalam fungsi ekonomi, fungsi keanekaragaman hayati, fungsi budaya, dan fungsi air.
Apabila kita berbicara mengenai masalah adaptasi, maka akan menuntun kita pada satu masalah yang harus dipecahkan, yaitu ketidakpastian. Justru ketidakpastian inilah yang membuat isu adaptasi menjadi lebih kompleks dan tidak menarik bagi banyak negara maju untuk memberikan dananya. Ketidakpastian ini membuat isu adaptasi akan berkembang, melibatkan multidisiplin, dan multisektor. Itu sebabnya setiap rencana aksi adaptasi yang disusun, sudah seharusnya diberikan ruang untuk mengakomodir perkembangan tersebut. Walau demikian, banyak pihak juga yang kemudian menjadikan ketidakpastian menjadi alasan untuk pihak tersebut tidak melakukan apa-apa.
Bapak Raphael Anindito dari GIZ juga menyatakan ketidakpastian sebagai salah satu tantangan dalam isu adaptasi. Ketidakpastian tersebut membuat sulitnya menetapkan kebutuhan pendanaan untuk adaptasi. Ketidakpastian ini juga membuat ketimpangan pendanaan perubahan iklim antara mitigasi dan adaptasi menjadi jomplang sampai dengan 90%. Bagi Indonesia, pendanaan dalam bentuk pinjaman menjadi masalah. Kalaupun pendanaan untuk adaptasi itu ada, maka Indonesia memerlukan apa yang disebut dengan National Implementing Entity untuk dapat meng-akses dana tersebut.
Bapak Anindito memaparkan mengenai potensi dari sumber pendanaan untuk kegiatan adaptasi:
- Dana publik
COP 13 di Bali sebenarnya sudah menegaskan tentang pembentukan Adaptation Fund, yang nilainya diperkirakan mencapai USD 270-600 miliar dari hasil transaksi Clean Development Mechanism (CDM). Walau demikian, seperti yang telah disampaikan di awal tadi, ternyata keberlanjutan dana di kantung Adaptation Fund menjadi mengkhawatirkan.
Dana lainnya adalah USD 100 miliar per tahun yang menjadi kesepakatan di Copenhagen, dimana negara maju menyatakan komitmennya untuk mengucurkan dana sebesar USD 100 miliar per tahun bagi negara berkembang. Faktanya, hingga kini masih belum ada indikasi mengenai sumber dana yang mencapai USD 100 miliar per tahun tersebut. - Pendanaan dari pihak Swasta, baik dari internasional maupun nasional.
Pendanaan dari pihak swasta sangat patut untuk dilirik, karena sebenarnya sektor swasta lebih banyak memiliki dana ketimbang publik. Namun, tentu saja kembali lagi, apa yang menjadi insentif bagi pihak swasta apabila mereka berkontribusi secara positif untuk menggalang dana sebesar USD 100 miliar tersebut. - Pendanaan pribadi/rumah tangga
Pendanaan pribadi sebenarnya adalah salah satu pendanaan yang dibangkitkan dari pelaku kegiatan adaptasi itu sendiri. Karena mereka yang mengalami, sehingga seringkali korban dampak perubahan iklim justru harus menanggung dampak yang jauh lebih besar dari yang lainnya.
Ibu Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyampaiakn permasalah dari institusi pendanaan di Indonesia. Dari Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim yang sedang disusun oleh Bappenas, Ibu Wahyuningsih menyatakan estimasi kebutuhan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia, mencapai hingga Rp. 840 triliun, jauh lebih tinggi daripada kegiatan mitigasi yang tertuang dalam RAN GRK, yang mencapai Rp. 225 triliun. Hingga kini, masih belum ada bayangan mengenai sumber pendanaan perubahan iklim, khususnya untuk adaptasi, dapat diterapkan di Indonesia. Sumber pendanaan untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim, hingga kini masih harus mengandalkan dana APBN.
Materi presentasi dapat diunduh di bawah ini: