Jakarta, 19 Agustus 2013. Salah satu tantangan berat yang dihadapi negara-negara kaya sumber daya mineral adalah maraknya pertambangan ilegal. Pasalnya, pertambangan ini tak hanya merugikan negara secara finansial, tapi sering juga menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial, ketimbangan ekonomi atau bahkan mendorong terjadinya kemiskinan baru.
Namun menangani pertambangan ilegal juga bukan sebuah yang perkara mudah. Banyak pertambangan ilegal dilakukan kelompok-kelompok masyarakat kecil dalam jumlah yang sangat besar dan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, pemilik modal ataupun senjata.
Fenomena ini pertambangan ilegal dan perdagangan hasil tambang ilegal harusnya menjadi perhatian serius para pemimpin di ASEAN. Sejumlah temuan dan berita dan menunjukkan bahwa pertambangan ilegal telah menyebabkan kerugian negara dalam jumlah yang besar. Di Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2012 menemukan bahwa sebanyak 115 kegiatan pertambangan di kawasan Timur Indonesia dilakukan tanpa ijin, dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 100 milyar. Sementara di Vietnam, akibat perdagangan ilegal bijih besi ke China, pemerintah harus kehilangan pendapatan hingga USD 164 juta di tahun 2011 karena adanya perbedaan laporan jumlah eksport biji besi dari Vietnam dan jumlah import di China yang mencapai 1,55 juta ton. Demikian pula yang terjadi di Filipina, dimana pejabat setempat mengungkapkan bahwa hamipir 95% perdagangan emas di negara tersebut dikendalikan oleh pedaganga di pasar gelap.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengadakan diskusi mengenai pertambangan ilegal di Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2013 di Hotel Le Meredian Jakarta. Tujuan diskusi ini adalah untuk memetakan persoalan pertambangan ilegal dan isu-isu kritis pertambangan di kawasan dan global. Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber seperti Bapak Rustam, dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bapak Ali Masykur Musa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), praktisi pertambangan Bapak Hendra Sinadia dan Bapak Iskandar Zulkarnain dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Pertambangan Ilegal, antara ada dan tiada
Menurut Rustam, pertambangan ilegal atau dikenal dengan istilah PETI (Penambang Tanpa Ijin) sebetulnya tidak dikenal dalam pengelolaan tambang di Indonesia. Sebab, sejak dikeluarkannya UU No. 4 tahun 2009, pemerintah telah mengakomodir kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan mengeluarkan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) yang dilakukan di sebuah wilayah pertambangan.
Pertambangan rakyat ini, seharusnya bisa menjadi alternatif pilihan usaha masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah yang kaya sumber daya mineral.
“Namun karena ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengelola kebijakan pembangunan, menyebabkan pengelolaan tambang rakyat lebih banyak dilakukan oleh para pendatang, baik mereka yang memiliki modal atau bekerja sebagai penambang. Akibatnya masyarakat setempat hanya sebagai penonton atau menikmati sedikit saja keuntungan sumber daya alam ini”, ujar Rustam.
Pertambangan rakyat dikelola dengan menggunakan teknologi yang sederhana namun tetap memperhatikan standar pengelolaan pertambangan sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang besar pada lingkungan
“Sayangnya, sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak kepala daerah yang tidak memahami bahwa wewenang mereka untuk memberikan ijin tambang bagi masyarakat, juga melekat wewenang untuk pengawasan dan pembinaan, termasuk kegiatan reklamasi pasca penambangan”, jelas Rustam.
Sementara Iskandar Zulkarnain menjelaskan, salah satu penyebab terjadinya pertambangan ilegal karena Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 tahun 2010 tidak bisa diterapkan di lapangan. Pemerintah memperlakukan sama anatara pertambangan rakyat dengan perusahaan, dimana masyarakat harus mengajukan ijin pertambangan dan tugas penambangan seperti reklamasi.
“Pada kenyataannya, kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat sering kali tanpa ijin, mereka juga tidak memperdulikan aspek lingkungan ataupun keselamatan kerja, apalagi perbaikan lingkungan pasca tambang. Itu sebabnya, para peneliti dan Asosiasi pertambangan Indonesia tidak menyebut kegiatan ini sebagai pertambangan rakyat, tapi masyarakat yang menambang atau penggalian”, jelas Iskandar.
Pertambangan ini juga tidak menjamin bisa mendorong pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat sekitar tambang, karena kebanyakan pemilik modal dan pekerja justru berasal dari luar daerah, apalagi kontribusi bagi pemerintah daerah yang bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan.
Dampak yang paling parah, menurut Iskandar, tentu terhadap lingkungan dan kehidupan sosial. Banyak daerah aliran sungai yang rusak karena kegiatan penggalian ataupun tercemar karena penggunaan zat kimia seperti merkuri dan sianida.
“Penggalian tambang rakyat juga menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan karena mereka hanya mampu mengolah hasil tambang hingga 60% saja, sisanya yang masih dalam bentuk bongkahan tanah akhirnya dibuang begitu saja ke lingkungan sekitar”, jelasnya.
Menurut Iskandar, pemerintah seharusnya sudah menyiapkan konsep pengelolaan tambang yang berkelanjutan yang bisa digunakan di tingkat nasional dan daerah mengingat barang tambang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
“Sangat tidak adil rasanya, jika sumber daya ini hanya dihabiskan oleh generasi sekarang, sementara generasi yang akan datang tidak mendapatkan apa-apa”, tegasnya.
Pertambangan Ilegal dan masa depan Ekonomi ASEAN
Sementara praktisi pertambangan Hendra Sinadia mengungkapkan keberadaan pertambangan ilegal memang telah memperburuk gambaran kegiatan tambang, termasuk oleh perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab.
Akibat gambaran buruk in pemerintah akhirnya menerapkan aturan yang tidak efektif dan memperlakukan sama antara perusahaan yang bertanggung jawab dan yang tidak, seperti kenaikan bea ekport dan pembangunan smelter.
Sementara perkembangan di tingkat global pengelolaan tambang yang bertanggung jawab kini semakin berkembang pesat. Di Amerika Serikat sudah dikeluarkan peraturan Dodd Frank Act No. 1502 yang mewajibkan perusahaan menggunakan bahan yang berasal dari smelter yang telah diaudit dan bebas dari bahan dari daerah konflik.
“Peraturan ini memang lebih banyak menyoroti kasus pertambangan di Afrika, tapi tidak menutup kemungkinan akan berimbas juga ke Indonesia dan kawasan ASEAN, seperti yang dialami oleh dua perusahaan elektonik dunia, Apple dan Samsung”, kata Hendra.
Pemerintah Indonesia dan negara-negara lain di kawasan ASEAN harus mulai memikirkan pengelolaan tambang yang lebih bertanggung jawab, mengingat kawasan ini akan terintegrasi menjadi kawasan ekonomi terpadu di tahun 2015.
“Jangan sampai pertambangan ilegal menjadi sandungan dan menurunkan nilai keunggulan ASEAN di pasar global”, ujar Hendra.
Sebagai catatan penutup, para narasumber memberikan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah dalam pengelolaan tambang ilegal diantaranya
- Pemerintah Daerah harus segera menyelesaian pemetaan tata ruang dan wilayah yang lebih menyeluruh.
- Menetapkan moratorium ijin pertambangan baru dan membenahi terlebih dulu ijin tambang yang sudah ada
- Menyiapkan konsep pertambangan yang berlanjutan dan payung hukum bagi pemerintah dalam pengelolaan pertambangan
- Serta pendekatan multi arah yang mendorong diversifikasi ekonomi dan tidak hanya mengandalkan pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak terbarukan
Untuk bahan presentasi narasumber dapat diunduh dibawah ini