Paska COP 17 di Durban, negara-negara anggota UNFCCC mulai membahas kerangka kerja perubahan iklim setelah tahun 2020. Pembahasan yang dilakukan melalui track Ad hoc Durban Platform (ADP) diharapkan dapat merumuskan sebuah kesepakatan baru yang melibatkan negara-negara maju dan berkembang dalam mengatasi perubahan iklim yang semakin kompleks.
Pembahasan mengenai bentuk legal kesepakatan perubahan iklim tidak lepas dari keadaan bahwa sebagian dari negara-negara non-Annex I saat UNFCCC disepakati masih berstatus sebagai negara miskin dan berkembang, mengalami pertumbuhan ekonomi dan politik yang pesat dalam satu dekade terakhir. Sebagai konsekuensinya, tingkat emisi negara-negara tersebut meningkat secara tajam, bahkan melampaui emisi GRK sebagian negara-negara Annex I.
Selain itu, laporan IPCC juga memberikan peringatan bahwa penurunan lajut peningkatan emisi GRK ke atmosfir harus dikurangi secara signifikan pada periode sebelum 2020, dan stabilisasi emisi GRK di atmosfir paska 2020, uuntuk menghindari bencana akibat kenaikan temperatur di atas 2 derajat. Bagaimana dinamika dan kecenderungan ini dapat termaktub dalam peningkatan ambisi penurunan emisi GRK sebelum 2015 dan paska 2020 menjadi salah satu fokus utama negosiasi perubahan iklim hingga tahun 2015 mendatang.
Perubahan arah dan tuntutan negosiasi dapat ikut menyentuh Indonesia, yang seperti Brasil, China, India, Afrika Selatan, dan Meksiko mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesar, demikian juga dengan laju emisi GRK secara agregat. Yang sedikit membedakanm memiliki pemikiran lebih maju dibandingkan beberapa negara berkembang lainnya. Selain melahirkan Bali Action Plan, Inodnesia juga merupakan negara berkembang yang pertama kali memberikan komitmen penurunan emisi sebesar 26% secara sukarela.
COP 19 di Warsawa, Polandia, akan lebih banyak membicarakan masalah peningkatan ambisi sebelum tahun 2020 serta bagaimana kerangka kerja setelah tahun 2020. Sebagai salah satu negara berkembang yang dinilai memiliki peranan penting di negosiasi perubahan iklim, posisi dan peran Indonesia di dalam dua rentang waktu yang berbeda; pra-2020 dan paska-2020, menarik untuk diketahui dan diulas.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyadari akan pentingnya posisi dan peranan Inodnesia bukan hanya dalam negosiasi tapi juga implementasi komitmen di tataran internasional di dalam negeri. Itu sebabnya, pada tanggal 29 Oktober 2013 yang lalu, IESR mengadakan diskusi publik terkait dengan isu COP 19 yang memiliki tujuan untuk memberikan informasi kepada para peserta bukan hanya mengenai status dari negosiasi perubahan iklim, tetapi juga bagaimana Indonesia dapat meningkatkan kontribusi dan perannya dalam negosiasi perubahan iklim.
Diskusi ini dihadiri oleh 3 (tiga) narasumber: Ibu Moekti Handajani Soejachmoen dengan kapasitasnya sebagai sekretaris kelompok kerja negosiasi di Dewan Nasional Perubahan Iklim, Bapak Ari Mohammad sebagai sekretaris kelompok kerja bidang adaptasi di DNPI, dan Ibu Suzanty Sitorus sebagai sekretaris kelompok kerja bidang pendanaan di DNPI.
Ibu Moekti Handajani Soejachmoen (Kuki) memaparkan tentang sesi-sesi yang akan berlangsung di Warsawa, Polandia, mendatang. Pada COP 19 mendatang, akan ada 5 sesi yang dilangsungkan secara bersamaan: COP 19 (19th session of the Conference of the Parties to the UNFCCC), CMP 9 (9th session of the Conference of the Parties serving as Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol), SBSTA 39 (39th session of the Subsidiary Body for Scientific and Technical Advice), SBI 39 (39th session of the Subsidiary Body for Implementation), ADP 2.3 (3rd part of the 2nd session of the Adhoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action). Ibu Kuki juga memaparkan beberapa isu tematis yang akan dibahas di COP 19 mendatang, seperti isu mitigasi, adaptasi, LULUCF dan land-based issues, mekanisme pendanaan, pengembangan dan alih teknologi, capacity building, aspek legal, response measures, aspek ilmiah dari perubahan iklim, serta kaitannya dengan administrasi, financial, institutional matters, yang juga penting karena akan menentukan kelangsungan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Dalam kesempatannya, Ibu Kuki juga menyoroti beberapa isu kritis yang akan berdampak pada Indonesia juga. Dengan kondisi Indonesia saat ini, dimana pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat dapat membawa Indonesia pada satu titik dimana Indonesia akan diminta untuk berpartisipasi aktif, maka penting bagi Indonesia untuk dapat menentukan target dan jenis partisipasinya di jangka panjang; terlebih lagi setelah tahun 2020. Hal ini perlu dipertimbangkan, terutama dengan pengertian bahwa perjanjian baru yang akan diimplementasikan setelah tahun 2020, memberlakukan prinsip applicable to all Parties. Itu sebabnya, penting bagi Indonesia untuk mulai memikirkan target dan jenis partisipasi Indonesia di jangka panjang dalam lingkup perubahan iklim.
Di bidang adaptasi, Indonesia perlu untuk mendorong adanya pengakuan terhadap upaya-upaya adaptasi yang telah dilakukan, serta bagaimana mendapatkan akses untuk dapat melakukan aksi adaptasi yang lebih besar. Kepastian pada akses ini juga berlaku untuk komponen means of impelementation (pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas). Apa yang diperjuangkan di internasional, sudah seharusnya selaras dengan kesiapan di dalam negeri Indonesia sendiri untuk mengantisipasi apabila skenario-skenario internasional di atas, kemudian berpihak pada Indonesia. Perlu adanya peraturan perundangan yang dapat mengatur pengendalian perubahan iklim, agar apa yang akan diterima dari internasional, akan dapat diserap dengan baik oleh Indonesia sampai ke tingkat lokal sehingga akan meningkatkan reputasi Indonesia di mata dunia Internasional.
Dalam pemaparan mengenai isu adaptasi di COP 19, Bapak Ari Mochamad menjelaskan mengenai keterkaitan-keterkaitan isu yang berada di dalam lingkup adaptasi. Kembali kepada tujuan awal dari kegiatan-kegiatan adaptasi sebagaimana tercantum dalam konvensi, dimana adaptasi dimaksudkan untuk membangun ketahanan dan menurunkan tingkat kerentanan, Bapak Ari menjelaskan bagaimana beberapa elemen seperti Loss and Damage, National Adaptation Plans, Komite Adaptasi, dan Nairobi Work Programme dapat mendukung hal-hal tersebut.
Peran dari masing-masing elemen untuk membangun ketahanan dan menurunkan kerentanan adalah sebagai berikut:
- Komite Adaptasi, dimandatkan untuk mendukung implementasi adaptasi dalam upaya menurunkan kerentanan dan membangun ketahanan.
- Nairobi Working Programme merupakan media yang digunakan untuk membantu meningkatkan pemahaman, khususnya dalam mengembangkan National Adaptation Plans (NAPs) serta implementasinya.
- Mekanisme Loss and Damage akan sangat berperan pada saat dampak yang terjadi karena perubahan iklim, pada umumnya slow onset, tidak dapat kembali lagi ke kondisi semula. Fenomena ini harus diperhitungkan dan dibuat strategi untuk mengantisipasinya dalam rangka membangun ketahanan dan menurunkan tingkat kerentanan.
- National Adaptation Plans, merupakan media untuk mengintegrasikan kegiatan dan aktivitas adaptasi. National Adaptation Plans diharapkan dapat menjadi pedoman untuk melakukan kegiatan-kegiatan adaptasi di suatu daerah atau negara tertentu.
Walau demikian, keempat elemen ini hanya akan memberikan masukan-masukan teoritis, apabila tidak didukung oleh komitmen untuk menjalankan kewajiban pendanaan dan transfer teknologi dari negara maju kepada negara berkembang. Karena implementasi akan dapat berlangsung secara terarah pada saat kepastian akan pendanaan, teknologi, serta peningkatan kapasitas, telah diberikan oleh negara maju.
Ibu Suzanty Sitorus kemudian memaparkan mengenai perkembangan di isu pendanaan dan apa yang harus diperjuangkan di COP 19. Ditanya mengenai apa yang ingin dicapai di COP 19, dengan tegas Ibu Suzanty Sitorus menjawab bahwa pendanaan jangka panjang adalah inti yang harus diperjuangkan di COP 19. Komitmen pendanaan sudah dibuat di tahun 2009 melalui Copenhagen Accord, sehingga secara logika, bagi kebanyakan negara maju, dana yang dikucurkan untuk menggenapi komitmen mereka di Copenhagen sudah pasti dianggarkan. Hanya saja, sampai dengan saat ini pledges negara maju untuk pendanaan masih sangat minim yang tentunya akan berdampak pada operasionalisasi GCF (Green Climate Fund). Padahal, GCF diciptakan untuk menjadi lembaga yang akan mengelola pendanaan yang akan disalurkan oleh negara-negara maju. Pledges sangat diperlukan, terutama apabila target operasionalisasi penuh GCF harus berlangsung di pertengahan 2014. Status keuangan GCF saat ini dinilai kritis, dan hanya bisa digunakan untuk masalah-masalah administrasi. GCF harus segera dioperasionalkan, karena apabila meleset dari target operasionalisasinya di pertengahan 2014, demikian maka penyaluran pendanaan untuk kegiatan-kegaitan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di negara-negara berkembang akan terganggu.
Dengan adanya persaingan dalam mengakses pendanaan multilateral seperti dari GCF, maka beberapa strategi perlu dilakukan untuk meningkatkan aliran pendanaan internasional ke Indonesia, seperti:
- Perlunya Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam negosiasi pendanaan dan isu-isu lain yang terkait. Dalam hal ini, REDD+, FVA, NMM, NAMAs Registry, juga technology.
- Partisipasi aktif dalam diskusi dan pengambilan keputusan pada Green Climate Fund, Standing Committee on Finance, dan lain sebagainya.
- Promosi lembaga-lembaga nasional yang memiliki kapasitas mengelola program/proyek perubahan iklim
- Promosi kerangka kebijakan dan regulasi (enabling policy environment) yang sudah dibuat dan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia
- Peningkatan koordinasi dan evaluasi atas lingkungan kebijakan dan kapasitas lembaga-lembaga pengelola program/proyek
Materi-materi yang disampaikan dapat diunduh di bawah ini: