Jakarta, 3 September 2014. Pada tanggal 20 Agustus 2014, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) membuka Seminar Internasional yang membahas tentang tata pemerintahan yang baik untuk industri ekstraktif di kawasan Asia Tenggara.
Seminar yang dihadiri oleh lebih dari 80 peserta yang mewakili pemerintah, dunia usaha, akademisi dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja dan Timor Leste ini menyepakati bahwa tata pemerintahan yang baik untuk pengelolaan minyak, gas dan mineral merupakan kunci untuk memastikan bahwa sumber daya alam di kawasa ini akan membawa kesejahteraan masyarakat.
“Sebagian negara-negara kaya sumber daya alam yang tergabung dalam Asosiasi Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara atau ASEAN, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam memang mampu menghindar dari fenomena kutukan sumber daya alam, karena pendapatan dari sumber daya tersebut bisa dikelola untuk mendorong pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi” ujar Fabby.
Namun demikian, negara-negara tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan seperti praktek korupsi, kerusakan lingkungan serta votalitas harga komoditas yang sulit untuk diprediksi.
Itu sebabnya, menurut Fabby, para pemimpin di ASEAN perlu menyiapkan sebuah kerangka kerja regional mengenai tata pemerintahan yang baik di sektor industri ektraktif. Kerangka kerja ini dimaksudkan untuk menjadi standar kebijakan dalam pengelolaan industri ektraktif, tranparan dan akuntabel, sekaligus membangun media dialog dan kepercayaan antara pihak-pihak yang berkepentingan.
“Kerangka kerja ini dibutuhkan karena mulai tahun 2015 ASEAN akan berkembang kawasan ekonomi terpadu dan terintegrasi dengan tatanan ekonomi global”
Kepala Unit Kerja Presiden Bidang pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP), Dr. Kuntoro Mangkusubroto, juga menjelaskan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan kini menjadi isu strategis tatanan global, dan salah satu faktor yang mendorong tersebut adalah pemerintah yang terbuka.
“Indonesia dan Filipina merupakan dua negara ASEAN yang aktif untuk mendorong terbentuknya gerakan Open Government Partnership (OGP). Dan bersama dengan Amerika Serikat kedua negara ini mendorong gerakan ini ke tingkat kawasan dan dunia.
Sementara Profesor Budi Resosudarmo dari Australian National University, mengungkapkan meskipun pertambangan merupakan sektor yang penting bagi ekonomi negara-negara di ASEAN, namun analisa ekonomi dampak pertambangan masih sulit untuk dilakukan.
“Tidak jelasnya kebijakan pertambangan yang diterapkan pemerintah di negara ASEAN menjadi salah satu tantangan dalam melakukan analisa dampak pertambangan di kawasan ini. Selain itu, sistem yang tidak transparan dan akuntabel mulai dari tahap perencanaan, seperti pemberian ijin dan kontrak, hingga pengelolaan pendapatan dan kegiatan pasca tambang, menyebabkan banyak permasalahan yang terjadi di sektor ini” ujar Budi.
Negara-negara di ASEAN bahkan tidak memiliki data yang jelas berapa sebetulnya jumlah cadangan pertambangan yang masih mereka miliki.
Di tahun 2013, Revenue Watch Institute mengeluarkan index mengenai pengelolaan sumber daya alam, dan hampir sebagian besar negara-negara ASEAN masuk dalam kategori lemah yang ditandai dengan buruknya sistem pelaporan, lemahnya institusi dan penegakan hukum dan penerapkan standar global pengelolaan sumber daya alam.
Meski demikian, kesadaran untuk memperbaiki pengelolaan sektor yang strategis ini juga sudah mulai tumbuh di sejumlah negara ASEAN. Indonesia, Filipina dan Myanmar merupakan negara kandidat EITI (Extractive Industry Transparency Inisiative), sebuah standar global mengenai transparansi pendapatan dari sektor minyak, gas dan mineral.
Di Filipina, bahkan EITI telah diterapkan diseluruh rantai nilai proses esktraksi mulai dari keputusan untuk mengesktraksi hingga pengelolaan pendapatannya.
“Transparansi merupakan kata kuncinya, sebab di Filipina pertambangan hanya menyumbang kurang dari 2% dari GDP, sementara kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang terjadi akibat pertambangan sudah sedemikian buruknya.” Ujar Danileen Kristel Parel analis dari Philippines Institute for Development Studies
Sementara di Myanmar, EITI digunakan sebagai media dialog antara pihak pemerintah, kelompok bisnis dan masyarakat sipil, termasuk dialog dengan kelompok minoritas yang berada di wilayah pertambangan.
Di Thailand, seperti belum menerapkan EITI sejak tahun 1992 negara gajah putih ini telah menerapkan Environmental Impact Assessment (EIA) yang menilai kelayakan aspek lingkungan ekonomi dan sosial sebelum dan sesudah kegiatan industri pertambangan.
“Konsultasi dengan masyarakat wilayah pertambangan merupakan proses yang paling penting dalam kegiatan EIA dan harus dilakukan melalui beberapa tahap sebelum kegiatan pertambangan dilakukan “ jelas Prof. Chakkaphan Sutthirat dari Universitas Chulalangkorn.
Seminar ini juga membahas tentang pertambangan rakyat dan posisi kelompok masyarakat adat yang selama ini terbaikan dalam pembahasan tentang pengelolaan pertambangan.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Iskandar Zulkarnain dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, meskipun pemerintah telah mengakui keberadaan tambang rakyat namun pengawasan terhadap kegiatan ini masih sangat lemah, pertambangan ini juga tidak memberikan pendapatan bagi negara namun dampak yang ditimbulkan seperti kerusakan lingkungan dan konflik sosial tetap sama.
Di ASEAN, keberadaan masyarakat adat mencapai 20% dari total komunitas masyarakat adat dunia. Namun baru Filipina yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) untuk kegiatan pertambangan” jelas Andy Whitmore dari PIPLinks.
Seminar ini juga menghadarikan Prof. Reiji dari Tokyo Univesity yang memaparkan kebijakan pemerintah Jepang dalam menerapkan prinsip 3E+1S dalam pengelolaan pertambangan yaitu Economy, Energy, Environmen dan Safety.
“Sebagai negara industri yang bergantung pada pasokan sumber daya, Pemerintah Jepang sangat serius dalam mengelola pertambangan dengan menyiapkan berbagai kebijakan yang saling terintegrasi antara kebijakan ekonomi, keuangan, cadangan sumber daya serta audit bagi perusahaan-perusahaan yang mengelola pertambangan. Pemerintah juga bersikap transparan kepada masyarakat atau pihak-pihak yang memiliki kepeduliaan terhadap isu ini.” jelasnya.
Jepang, ujarnya lagi juga terus mendorong keterbukaan untuk perdagangan dan investasi dan pembangunan yang berkelanjutan di tingkat global.
Dalam kesempatan ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan ASEAN Study Center, Universitas Indonesia juga sempat meluncurkan buku “Governance on Extractive Industry: Assessing National Experiences to Inform Regional Coorporation in Southeast Asia”. Buku ini berisi sejumlah pengalaman praktis pengelolaan industri ekstraktif di negara kaya seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam.
Untuk bahan presentasi seminar dapat diunduh dibawah ini
- Artisanal Mining Issues in Indonesia; Lessons Learned for ASEAN
- ASEAN Framework on EI
- Developing a standard for Managing Natural Resources
- Political Economy on Natural Resources
- Mining Industry in Thailand
- Extractive Industry in Japan
- Improving EI Governance at sub national level
- Benefiting Applying FPIC
- Security and Human Rights_BP