IESR bersama Kopernik menggelar lokakarya perencanaan strategis untuk mendorong kembali pelaksanaan insiatif Sustainable Energy for All (SE4ALL) di Indonesia. Pengalaman di tingkat akar rumput menunjukan perempuan justru memiliki peran yang strategis dalam peningkatan akses energi untuk keluarga dan masyarakat.
Jakarta, IESR. Kaum perempuan di kota Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, masih tetap menjalankan kebiasaan lama ini, mencari kutu dan merumpi. Namun sekarang, topik rumpian kini bukan lagi soal perceraian artis atau berita gosip yang biasanya hangat dibahas di televisi.
Topik yang hangat buat para ibu-ibu itu adalah soal akses air bersih dan bagaimana meningkatkan pendapatan untuk keluarga.
“Iya, ibu-ibu sekarang lebih sering membahas bagaimana caranya memasarkan Nazava, alat pemurni air minum berbahan keramik. Alat ini tak hanya membuat mereka menghemat biaya pengeluaran karena tak perlu lagi memasak air, tapi juga meningkatkan pendapatan dengan cara memasarkan alat itu ke tetangga, kerabat, atau ke restoran dan rumah makan yang berada dekat kawasan pariwisata Pulau Komodo,” Ujar Margaretha Subekti atau biasa disapa dengan sebutan Ibu Bekti, salah seorang kader penggerak masyarakat yang dikenal dengan sebutan Ibu Inspirasi.
Dengan pendekatan “mulutgram” (penyebaran informasi dari mulut-ke mulut), tambah ibu Bekti, ibu juga semakin aktif untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat kualitas hidup keluarga mereka , termasuk mengolah sampah menjadi aneka kerajinan tangan, gerakan menabung dan tentunya pengelolaan akses air bersih.
Selain pengalaman dari kawasan Timur Indonesia, ada pula pengalaman dari kota gudeg, Jogyakarta yang membagikan pengalaman tentang Tungku Sehat Hemat Energi atau dikenal dengan Tungku SHE. Tungku adalah alat memasak yang masih banyak digunakan masyarakat di Indonesia, karena bahan bakarnya sangat murah seperti kayu dan ranting. Namun tanpa disadari penggunaan tungku tradisional sering kali menyebabkan gangguan kesehatan bagi kaum perempuan dan anak-anak.
Untuk itu, Yayasan Dian Desa selama 15 tahun telah mengembangkan tungku SHE dan kini telah memiliki sertifikasi sehingga bisa digunakan secara aman.
“Ketika tungku ini diperkenalkan kepada masyarakat, kaum laki-laki biasanya setuju untuk menggunakan tungku SHE ini, namun pengambilkan keputusan akan langsung diserahkan kepada kaum perempuan karena mereka yang biasanya menggunakan alat ini di dapur. Namun masyarakat baik perempuan dan laki-laki harus mendapatkan penyadaran bahwa kesehatan keluarga justru berawal dari alat sederhana di dapur. Dan jika kesehatan kamum perempuan terjaga maka kesehatan keluarganya sudah pasti terjaga pula.” jelas Prianti Utami.
Pengalaman yang disampaikan Ibu Bekti dan Ibu Tami adalah sebagian dari seri berbagai pengalaman dalam lokakarya “Perencanaan Strategis Kelompok Masyarakat Sipil untuk advokasi akses energi dan perspektif gender dalam mendorong pelaksanaan Sustainable Energy for All” yang berlangsung pada tanggal 12-13 Oktober 2015 di Hotel Grand Cemara, Jakarta. Lokakarya ini diikuti oleh lebih dari 30 LSM dan lembaga riset yang berasal dari Jakarta, Jogjakarta dan Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Bali serta Nusa Tenggara Timur.
“Lokakarya ini memang bertujuan untuk berbagi pengalaman dan pelajaran di lapangan dalam meningkatkan akses energi untuk masyarakat, sekaligus merumuskan strategi nyata kelompok masyarakat sipil di Indonesia dalam mendorong pelaksanaan insiatif SE4ALL yang sempat mengalami kemandekan di Indonesia,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Indonesia sendiri adalah negara yang kaya dengan sumber mineral, mulai dari energi fosil maupun energi terbarukan. Namun begitu kemiskinan energi masih tetap menjadi tantangan besar di berbagai daerah di Indonesia
Hingga saat ini tercatata sekitar 45-48 juta penduduk di Indonesia yang hidup tanpa listrik dan belum memiliki akses terhadap energi. Dan ada lebih dari 82% penduduk di wilayah perdesaan yang menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak dan menggunakan tungku tradisional.
Menurut Fabby, inisiatif SE4ALL yang diperkenalkan secara global pada tahun 2011 sangat relevan bagi Indonesia, karena memiliki 3 tujuan utama yaitu: (1) Peningkatan akses energi; (2) pengembangan energi terbarukan, dan (3) penggandaan laju efisiensi energi hingga tahun 2030
Sayangnya, pelaksanaan inisiatif ini di Indonesia justru mengalami kemandekan yang disebabkan oleh beberapa faktor.
“Oleh karena itu, peran kelompok masyarakat menjadi sangat penting dalam mendorong pelaksanaanSE4ALL, karena kelompok masyarakat sipil terlibat langsung dalam pengembangan inovasi akses energi di lapangan dan pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput. Selain itu jaringan kerjasama kelompok masyarakat sipil memungkinkan terjadinya proses berbagai pengalaman dan replikasi di daerah lain ” ujar Fabby
Selain berbagi pengalaman lokakarya ini juga diisi dengan sesi dialog dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Energi Baru dan Terbarukan.
Dalam dialog dijelaskan bahwa agenda pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional telah ditetapkan sejak tahun 2001, namun dibutuhkan koordinasi antara lembaga pemerintah untuk mensosialisasikan agenda ini sehingga menjadi kebutuhan semua pihak.
Selain itu, perlu juga dilakukan koordinasi antara instansi pemerintah, kelompok masyarakat sipil serta perusahaan dalam melaksanakan program pengembangan energi terbarukan di tingkat masyarakat.
“Kegiatan yang selama ini diperkenalkan ke masyarakat lebih bersifat proyek, sarat dengan kepentingan politik dan hibah (gratis). Hal ini kadang membuat masyarakat menjadi malas dan memiliki sifat pengemis. Padahal masyarakat perlu juga disadarkan mengenai pentingnya menjaga prasarana dan teknologi yang mereka telah dapatkan dengan nilai keekonomian yang wajar” ujar ibu Bekti.
Jika situasi ini tidak segera diperbaiki, maka program peningkatan akses energi di masyarakat tidak bisa berkembang dan akhirnya mati.
Lokakarya ini juga, para peserta juga merumuskan berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengembangan akses energi, termasuk kendala pemberdayaan masyarakat sebelum diperkenalkannya sebuah teknologi energi dan sesudah teknologi atau prasarana dibangun. Termasuk menghitung biaya perawatan dan kebijakan untuk menjaga inovasi yang telah dibangun dalam jangka waktu yang panjang.
Sebagai rencana kerja dalam waktu satu tahun, para peserta bersepakat untuk menyiapkan kegiatan utama seperti:
- Mengidentifikasi dan mendokumentasikan berbagai inisiatif dan pengalaman di lapangan dalam pengembangan teknologi baru dan terbarukan termasuk dokumen mengenai teknologi, pemberdayaan masyarakat dan analisa keekonomian inovasi.
- Melakukan identifikasi aktor pengambil pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah, serta menyiapkan pesan, media advokasi dan audiensi kepada para pihak yang berkepentingan.
- Mengembangkan sistem pengetahuan dan pengalaman agar proses pembelajaran bisa dilakukan dan mendorong untuk terjadinya adaptasi dann replikasi yang lebih luas sehingga mendorong pemerintah untuk mencapai target dalam insiatif energi dan pembangunan yang berkelanjutan
Lokarya ini juga menjadi media untuk membantu pemerintah Indonesia menyiapkan pelaksanaan insiatif Sustainable Development Goal (khususnya untuk Goal yang ke 7) yang pelaksanaanya dimulai pada September 2015.
Bagi para peserta seperti Pokja 30 di Kalimatan Timur, Alianasi Masyararakat Adat Nusantara (AMAN) lokakarya ini telah memberikan pelajaran mengenai isu akses energi dan perempuan yang selama ini belum menjadi perhatian bagi pemerintah daerah dan lembaga mereka sendiri.