Oleh Erina Mursanti
Persatuan Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI), Asosiasi Energi Surya Indonesia/Indonesia Solar Association (AESI/ISA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan sebuah acara diskusi publik pada 22 Februari 2017 di Jakarta. Acara ini bertujuan untuk membangun kesadaran dan mengakselerasi pemanfaatan teknologi sel surya (solar photovoltaic) dan aplikasinya untuk solar PV rooftop (sistem pembangkit listrik surya di atap), dalam rangka mendukung pencapaian target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.
Acara ini menghadirkan beragam narasumber yang berasal dari pemerintah, Perusahaan Listrik Negara (PLN), akademisi, konsultan, serta Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Sebanyak 60 peserta menghadiri acara ini berasal dari beragam pelaku usaha (baik swasta maupun BUMN) di bidang energi, asosiasi bisnis, penyedia jasa konsultan, lembaga non pemerintah dan lembaga penelitian.
Direktur PLN Bisnis Regional Kalimantan, Djoko R. Abumanan, menyampaikan sambutan pembukaan pada diskusi ini. Dia menyampaikan upaya yang telah dilakukan PLN sejak akhir tahun 2016 untuk mengintegrasikan pembangkit energi terbarukan yang intermittent dengan smart grid. Menurut Djoko, PLN saat ini mengelola sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang terletak di perbatasan Kalimantan dengan menggunakan teknologi smart-grid.
PLN dan PT INTI juga telah melakukan studi kelayakan dan kajian stabilitas jaringan dari pembangkit hybrid PLTS-PLTD. Selain itu, PLN juga mengoperasikan PLTS yang dibangun oleh Kementerian ESDM di 10 lokasi yang tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.
Menurut Djoko ada beberapa kendala dalam mengelola PLTS di daerah terpencil, baik teknis dan non teknis. Sebagai contoh kendala teknis adalah kondisi atau keberadaan sinyal telepon seluler (GSM) yang lemah di lokasi-lokasi PLTS sehingga sulit melakukan komunikasi data dengan modem dalam rangka pemantauan operasi sistem. Contoh kendala teknis lainnya adalah dibutuhkan penyambungan kabel dari PLTS menuju jaringan PLN (JTM) untuk dapat menyalurkan listrik yang dihasilkan dari PLTS melalui jaringan PLN.
Kendala non teknis yaitu panel surya mudah untuk dicuri atau modul rusak karena tanah longsor. Meskipun banyak kendala yang dihadapi PLN, sejauh ini dari kinerja yang ada, efisiensi biaya dan keuntungan dari penjualan listrik yang dihasilkan dari PLTS meningkat. Hal ini ditunjukkan dari keuntungan PLN sebesar Rp 12 juta per bulan untuk masing-masing PLTS (PLTS Sei Limau dan PLTS Sebuku) yang berasal dari penghematan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit diesel yang di-hybrid. Kedepan, PLN merencanakan akan mengoptimalkan sistem hybrid PLTS-PLTD ataupun menggunakan kombinasi pembangkit energi terbarukan lainnya untuk mendukung penyediaan listrik di wilayah-wilayah terpencil.
Luluk Sumiyarso dari AESI/ISA juga memberikan kata sambutan yang pada intinya memaparkan potensi PLTS di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Acara diskusi ini dibagi dalam 2 sesi. Pada sesi pertama ada Marijte Hutapea, Direktur Aneka Energi Ditjen EBTKE KESDMl Ign. Rendroyoko dari tim smart grid PT PLN, dan Prof. Iwa Garniwa dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Direktur Aneka Energi, Ditjen EBTKE, Maritje Hutapea, memaparkan intisari target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan target yang berkaitan dengan pemanfaatan solar PV rooftop sebagai pembangkit listrik (lihat Gambar 1). Dalam KEN dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kontribusi solar PV ditargetkan mencapai kapasitas 6,5 GW pada 2025. Kapasitas ini terdiri dari kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Solar Home System (SHS), dan solar PV rooftop.
Gambar 1. Target-target dalam Kebijakan Energi Nasional
Dalam upaya mendorong pencapaian target pemanfaatan EBT sebagai sumber pembangkit listrik, Menteri ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Permen ini mewajibkan PLN untuk membeli listrik yang dihasilkan dari PLTS Fotovoltaik, PLTB, PLTA, PLTBiomassa, PLTBiogas, PLTSampah, PLTP dengan mengikuti ketentuan yang telah diatur. Untuk PLTS dalam pelaksanaannya, PLN wajib mengumumkan jumlah kuota kapasitas dari sistem setempat yang akan dilelang secara terbuka. Calon Independent Power Producer (IPP) yang tertarik untuk memasukkan proposal dalam lelang tersebut bisa melihat Biaya Pokok Produksi (BPP) satu tahun sebelumnya untuk dijadikan patokan perhitungan harga jual listrik yang akan dibeli oleh PLN.
Martije menilai bahwa PLTS skala besar memiliki potensi untuk dikembangkan di sistem kelistrikan Sumatera dan Jamali. Sedangkan untuk sistem kelistrikan lainnya yang memiliki kapasitas jaringan lebih kecil, PLTS dengan kapasitas kecil yang dipasang di atas lahan cocok untuk dikembangkan. Untuk selanjutnya, IPP dapat memasang solar PV dan menjual listrik yang dihasilkannya ke PLN. Terkait dengan hal ini, pemerintah sedang merumuskan bentuk insentif finansial dan fiskal yang dibutuhkan untuk menarik investasi PLTS.
Ign Rendroyoko dari Tim Smart Grid PLN memaparkan bagaimana PLN mendorong peranan solar PV rooftop. PLN saat ini sudah memiliki regulasi yang mendukung pelanggan untuk memasang dan mengoperasikan solar PV rooftop yang tersambung dengan jaringan PLN, yakni Peraturan Direksi PLN No. 0733.K/DIR/2013 dan Edaran Direksi PLN No. 0009.E/DIR/2014.
Hingga saat ini, menurutnya terdapat sejumlah kantor PLN yang sudah memasang solar PV rooftop sebagai proyek percontohan dan media pembelajaran. Selain unit PLN, juga ada beberapa pelanggan di Bali yang sudah memasang solar PV rooftop dan net metering. Bagi pelanggan PLN yang memasang solar PV rooftop, PLN memberlakukan net metering. Net metering ini sudah dilakukan di beberapa instalasi pelanggan yang memasang small-scale solar PV rooftop di daerah Bali dengan kapasitas < 1 MWp. Prinsip net metering adalah energi listrik yang dijual pelanggan ke jaringan PLN akan mengurangi jumlah penggunaan energi listrik yang digunakan pelanggan dari jaringan PLN. Walaupun demikian tidak ada transaksi finansial dari ekspor dan impor listrik ini. Gambar 2 di bawah menjelaskan bagaimana PLN menghitung ekspor dan impor listrik dengan menggunakan ketentuan net-metering sebagai pedoman transaksi dengan pelanggan.
Gambar 2. Ilustrasi Net Metering yang Dilakukan PLN
Meskipun PLN sudah mengeluarkan regulasi, Rendroyoko menekankan bahwa solar PV rooftop belum disebutkan dalam RKP PLN 2013-2017 ataupun dalam RUPTL. Solar PV rooftop akan tercantum dalam RJP PLN 2017-2021. Di dalam RUPTL PLN pun, program ini dituliskan sebagai bagian pengembangan instalasi PLTS setiap Distribusi dan Wilayah.
Prof. Iwa Garniwa dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengkritisi kemampuan kapasitas pembangkitan solar PV yang sebenarnya untuk menghasilkan listrik. Menurut Iwa, solar PV module rentan mengalami penurunan daya mampu atau derating. Kenaikan temperatur modul adalah faktor derating yang paling besar. Penurunan daya bisa mencapai 12% dari kapasitas yang tercantum pada name plate solar module. Selain itu, lokasi pemasangan modul harus memperhatikan jarak optimal dengan benda-benda yang ada di sekitar karena bayangan (shading) dari benda sekitar dapat mengakibatkan penurunan daya hingga 10%.
Di samping itu, Prof. Iwa memaparkan beberapa hal yang dapat mempertanyakan solar PV rooftop sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan apabila dilihat dari proses pembuatan dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembuatannya. Contohnya adalah klorin, yang merupakan salah satu bahan kimia yang berbahaya, yang digunakan dalam setiap tahapan proses pembuatan dari satu tahapan ke tahapan lain. Contoh lain adalah penggunaan batubara dimana satu panel berukuran 1 x 1,5 m dengan kapasitas 1 KW/hari membutuhkan energi setara dengan 40 kg batubara; padahal 40 kg batubara dapat langsung menghasilkan energi sebesar 130 kWh. Yang terakhir, permasalahan daur ulang panel surya yang tidak terpakai pun dapat menyebabkan kerusakan lingkungan jika tidak dilakukan hati-hati karena silikon, selenium, kadmium, dan sulfur heksafluorida dapat menjadi sumber pencemaran selama proses daur ulang berlangsung.
Dari sesi diskusi ini terdapat beberapa hal yang dibicarakan. Terkait dengan perhitungan potensi solar PV rooftop di suatu daerah, prinsip kehati-hatian harus dipegang ketika menggunakan software mengingat ada software yang tidak cocok digunakan di iklim sub tropis seperti Indonesia, ataupun ada software yang tidak dapat menunjukkan lokasi geografis secara detil. Terkait dengan rencana smart grid dan solar PV rooftop, PLN tidak mempublikasikannya secara luas, meskipun begitu, PLN siap memasang apabila ada pelanggan berminat.
Untuk mendorong permintaan solar PV rooftop, Ditjen EBTKE sedang mengkaji berbagai kemungkinan insentif fiskal dalam bentuk pembebasan pajak impor untuk komponen dalam perakitan modul surya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menurunkan biaya produksi dari modul surya yang dirakit di Indonesia. Untuk saat ini, pembebasan pajak impor masih hanya sebatas pada impor modul surya yang sudah jadi.
Peserta juga menyoroti presentasi Prof. Iwa Garniwa, khususnya mengenai energy balance dari solar PV cell atau PV module. Menurut Jon Respati, sejumlah penelitian atas life-cycle solar PV module menunjukan produksi energi yang lebih besar daripada energi yang dipakai untuk membuat modul surya. Selain itu teknik pembuatan sel dan modul surya yang maju menyebabkan sel surya lebih tahan terhadap faktor kenaikan suhu.
Di akhir diskusi sesi pertama, Maritje menyampaikan bahwa sudah ada pilot project yang menunjukkan bahwa solar PV rooftop dengan kapasitas hingga 2 MW dapat dipasang di bandara untuk membangkitkan listrik yang dibutuhkan dalam kegiatan operasional. Adapun untuk bandara-badara perintis skala kecil, solar PV rooftop dapat diinstal dengan kapasitas ratusan kW.
Pada sesi kedua, para narasumber yang tampil adalah Andre Susanto, Edhie Widiono, dan Fabby Tumiwa.
Sebagai seorang konsultan yang biasa menangani bisnis energi terbarukan, Andre Susanto dari Inovasi Dinamika Pratama, memaparkan apa saja hambatan dan bagaimana potensi dari pengembangan solar PV rooftop di Indonesia. Andre berpendapat bahwa selama PLN diwajibkan membeli listrik dari IPP, IPP tentu saja akan berusaha keras untuk memenuhi tarif yang tercantum dalam PPA yang sudah disepakati. Namun, untuk ini, PLN harus transparan dalam proses lelang dan proses pengadaannya serta PLN harus menyediakan kesempatan proyek yang cukup besar supaya proyek yang dilakukan oleh IPP dapat mencapai skala ekonomisnya.
Solar PV cocok dikembangkan di daerah dimana biaya produksi PLN relatif tinggi, seperti Maluku dan NTT, dan juga daerah dimana jumlah peak load relatif besar, seperti Sumatera Utara. Setelah itu, lokasi proyek instalasi solar PV yang mendetil dapat ditentukan dengan bantuan software. Semakin besar skala proyek, maka pay-back period akan dicapai dalam waktu yang lebih cepat. Namun sayangnya pemanfaatan solar PV ini tidak menambah kapasitas listrik; dan pemasangan solar PV sangat bergantung pada program kerja dan kebijakan PLN lokal.
Setelah mengetahui bagaimana regulasi dari pemerintah, bagaimana respon dari PLN, apa saja yang harus diperhatikan ketika memasang solar PV supaya dapat memanfaatkannya secara optimal, serta mengetahui bagaimana potensi dan hambatan solar PV di Indonesia, penting untuk diketahui bagaimana mekanisme pendanaan untuk dapat menyediakan solar PV.
Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform menerangkan instrumen fiskal seperti Viability Gap Fund (VGF) dapat dipakai untuk meningkatkan kelayakan ekonomi untuk proyek solar PV dalam rangka mendukung elektrifikasi perdesaan. Elektrifikasi perdesaan dapat dikategorikan sebagai proyek infrastruktur yang dapat dilakukan dengan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Ketentuan dalam Perpres No. 56/2012 dan Keppres No. 38/2015 menyatakan bahwa pemerintah bisa memberikan insentif untuk penyediaan infrastruktur. Salah satu bentuk insentif ini didukung oleh PMK No. 223/PMK.011/2012 yang dijadikan sebagai dasar hukum untuk instrumen VGF dengan tujuan meningkatkan kelayakan finansial proyek infrastruktur sehingga menarik partisipasi swasta dalam menjalankan proyek KPS.
Dalam implementasinya, pemerintah dapat memberikan bantuan dana tunai kepada proyek KPS untuk sebagian atau seluruh biaya konstruksi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan, VGF dapat dipakai untuk biaya konstruksi, biaya peralatan, biaya pemasangan, biaya bunga atas pinjaman selama masa konstruksi, dan biaya yang tidak termasuk konstruksi non-lahan dan non-insentif perpajakan. Dalam pelaksanaanya Menteri Keuangan akan mengeluarkan Keputusan Menteri sebagai pernyataan pemberian instrumen VGF kepada proyek KPS dan Kepmen ini merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian Kerja Sama.
Mengingat sifat proyek pembangkit off-grid skala kecil adalah tingginya risiko dan rendahnya kemampuan membayar serta operator harus menjamin ketersediaan pasokan listrik dengan kualitas tinggi untuk jangka waktu lama, maka instrumen VGF sangat sesuai diterapkan. Dalam rangka implementasi Permen ESDM No. 12/2017, pemerintah dapat mempertimbangkan penerapan instrumen VGF untuk mendorong pengembangan PLTS skala utilitas di sistem Jawa Bali atau Sumatra yang memiliki BPP rendah. Instrumen VGF ini dapat dipadukan dengan skema lelang kompetitif. Namun demikian, untuk proyek diluar skema KPS atau KPBU penerapan VGF masih memerlukan kajian yang lebih dalam, serta koordinasi antara KESDM dan Kementerian Keuangan terkait dengan besaran nilai dan mekanisme pelaksaannya.
Fabby memberikan contoh bagaimana pemanfaatan VGF untuk pembangkit energi terbarukan di India. VGF dialokasikan dari National Clean Energy Fund untuk proyek solar PV dengan kapasitas 2.000 mW on-grid, sebagai bagian dari Program Jawaharlal Nehru National Solar Mission (JNNSM) phase 2 (2015). Dana ini diberikan kepada pengembang proyek dengan skema BOO, dengan ketentuan yakni: (1) memasok listrik dengan harga yang ditetapkan selama 25 tahun kepada Solar Energy Corporation of India (SECI) (sebesar Rs. 5,45/kWh atau sekitar US$ 0,8/kWh), (2) penjualan listrik harus dimulai setelah 13 bulan penandatanganan PPA.
Menurut Fabby, satu hal yang dapat dipelajari dari India adalah pemerintah bersedia mengeluarkan dana relatif besar untuk mengembangkan pasar solar PV; dan biaya investasi akan turun ketika pasar sudah besar. Ketika biaya investasi turun, pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana lagi dan menyerahkan pada mekanisme pasar. Ada satu cara yang dilakukan pemerintah India untuk meminimalisasi risiko, yaitu menciptakan kerjasama antara pengembang solar PV dengan pemilik gedung yang mau memasang solar PV. Dalam hal ini, pemerintah India pun memberikan insentif kepada pemilik gedung di samping kepada pengembang solar PV.
Menjadi pembicara terakhir, Eddie Widiono selaku perwakilan dari PJCI melengkapi paparan dari narasumber-narasumber sebelumnya. Eddie mengingatkan satu hal bahwa kunci dari suksesnya pelaksanaan smart grid adalah kesiapan jaringan dalam menampung listrik yang dihasilkan dari EBT. Di samping itu, Eddie menambahkan informasi mengenai tiga jenis instalasi solar PV rooftop, yaitu on-grid, off-grid, dan beyond meter. Apabila ada pelanggan yang berminat untuk memasang solar PV rooftop namun jaringan PLN yang ada di sekitarnya belum siap menerima listrik dari solar PV rooftop, maka pelanggan dapat memasang jenis yang terakhir ini (beyond meter). Untuk jenis instalasi beyond meter, akan dipasang suatu pembatas sehingga jaringan pelanggan tidak dapat mengirimkan listrik ke jaringan PLN sehingga pelanggan tidak dapat menjual listrik ke PLN.
Pada akhirnya, forum diskusi ini merekomendasikan beberapa hal yang dianggap penting untuk dapat dilaksananakan dalam upaya mempercepat pencapaian target EBT 23% pada tahun 2025. Beberapa hal tersebut adalah: (1) dibutuhkan inovasi strategi yang lain dari biasanya; (2) dibutuhkan kecepatan penurunan biaya investasi yang dibarengi dengan kecepatan penurunan BPP PLN; (3) dibutuhkan optimalisasi pemanfaatan biaya publik untuk pengembangan EBT yang akan menurunkan biaya investasi.