Jika Indonesia tidak mampu mencapai target penurunan emisi sebesar 29-41% di tahun 2030, maka akan lebih berat lagi untuk mencapai target Kesepakatan Paris dengan skenario 1,5°C.
Apakah Indonesia mampu mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% seperti yang dinyatakan dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution)? Bagaimana dengan target penurunan emisi di sekto energi? Bagaimana mengukur capaian NDC dan siapa yang mengukurnya?
Pembahasan tentang pengukuran pencapaian target NDC di sektor energi menjadi topik yang hangat dalam diskusi Pekan Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Jum’at pekan lalu (4/8).
Diskusi ini menghadirkan Rida Mulyana, Dirjen EBTKE, Kementerian ESDM, Retno Gumilang Dewi Pusat Kebijakan Keenergian Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).
Menurut Rida Mulyana untuk mendukung pencapaian target NDC kementerian ESDM telah menyiapkan berbagai perangkat kebijakan, program strategis dan rencana aksi untuk menurunkan emisi sebesar 11% atau 314 juta ton CO2e yang dicapai di tahun 2030.
“Hingga tahun 2016 target penurunan emisi telah mencapai 33 juta ton CO2e, baik yang masuk ke dalam program DIPA maupun yang dilaksanakan oleh pihak swasta,”jelas Rida.
Namun pencapaian ini, terbatas hanya pada kementerian ESDM dan tidak termasuk penurunan emisi di sektor energi dari kementerian atau pihak lainnya.
“Kami tidak mempunyai wewenang untuk mendokumentasikan seluruh capaian tersebut,” jelasnya.
Pengukuran capaian NDC Indonesia sebesar 29-41% di tahun 2030, menurut Fabby Tumiwa menjadi sangat penting. Dan untuk, itu diperlukan sebuah sistem pemantauan dan verifikasi dengan indikator yang jelas dan disepakati semua pihak.
“Komitmen terhadap Kesepakatan Paris tidak hanya membuat dokumentasi NDC, namun yang lebih penting adalah bagaimana target tersebut dapat diintegrasikan atau dimasukkan ke dalam rencana kerja pembangunan dan sektoral, dan dapat dilaksanakan setiap tahunnya oleh para pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan kelompok masyarakat sipil.” ujar Fabby.
Jika target NDC ini tidak dapat tercapai, maka akan lebih berat lagi bagi Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi dengan skenario 1,5°C.
Dia menjelaskan ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengukur pencapaian NDC Indonesia, salah satunya dengan menggunakan indikator kebijakan administratif. Indikator ini akan melihat sejumlah aspek seperti 1) Besarnya pendanaan yang di alokasikan untuk pembangunan energi terbarukan seperti APBN atau APBD, 2) Jumlah perizinan yang dikeluarkan untuk proyek-proyek energi terbarukan. Selain lintas kementerian, indikator ini juga perlu dikoordinasikan dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang selama ini mempunyai wewenang terkait perizinan, 3) Monitoring pelaksanaan proyek-proyek energi terbarukan yang dilihat dari jumlah PPA dan kapasitas pembangkit yang sudah direncanakan dan disiapkan, serta 4) Kesuaian pencapaian terhadap target dan aturan yang ditetapkan pemerintah.
Selain menggunakan indikator di atas, pencapaian NDC juga bisa dapat diukur dari dampak kegiatan aksi mitigasi, seperti
- Pengembangan energi terbarukan yang mengukur total kapasitas pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan, kontribusi terhadap bauran energi, komposisi Bahan Bakar Nabati (BBN) terhadap bahan bakar yang dipakai, jumlah produksi listrik dari energi terbarukan
- Efisiensi energi yang dihitung dari total konsumsi energi di tingkat nasional dan sektoral, intensitas energi untuk ekonomi di setiap sektor
- Clean Power yang dilihat dari kapasitas PLTU yang menggunakan teknologi ulta super critical (USC) dari kapasitas PLTU nasional, kapasitas PLT Sampah
- Fuel Switching yang diukur dari penambahan jaringan gas kota, jumlah konsumsi gas dan LPG dll
- Reklamasi pasca tambang yang diukur dari jumlah kawasan pertambangan yang telah direklamasi
Fabby menegaskan pencapaian target penurunan emisi tidak bisa dicapai hanya hanya dengan mendorong proyek-proyek energi terbarukan, namun juga perlu dukungan kebijakan lain seperti peluang untuk menerapkan carbon pricing, disinsentif untuk pajak bahan bakar, penutupan PLTU yang tidak lagi efisien, peningkatan standar emisi PLTU, rasionalisasi batubara serta percepatan standar Euro 4.
“Semua pilihan ini tentunya perlu dipertimbangkan termasuk risiko yang ditimbulkan dan upaya mitigasinya” ujar Fabby.
Retno Gumilang Dewi juga menegaskan pengukuran dan dokumentasi pencapaian target NDC merupakan bagian dari prinsip Kesepakatan Paris terkait clarity, transparency and understanding. Oleh karena itu, penguatan sistem informasi dan monitoring yang terkoordinasi menjadi sangat penting.