Menurut kajian PBB tahun 2014, 54 persen populasi bermukim di area urban. Angka ini diperkirakan akan naik hingga mencapai 66 persen pada tahun 2050. Asia menjadi kawasan dengan porsi penduduk urban terbesar, yaitu mencapai 53 persen.
Diambil dari Publikasi Jakarta dalam Angka, Penduduk Jakarta saat ini mencapai 10,2 juta jiwa. Dengan demikian Jakarta dapat dikategorikan sebagai megacity yang menurut standar PBB adalah kota dengan penduduk 10 juta atau lebih. Meski hanya meliputi 3 persen luas daratan bumi, namun kota di dunia terhitung memiliki konsumsi energi 60-80 persen dunia dan menyumbang 75 persen emisi karbon dunia. Dihadapkan pada masalah yang ada, penanganan kota yang berkelanjutan sudah selayaknya menjadi perhatian bersama.
Institute Essential Services Reform (IESR) melalui Program Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy yang didukung oleh Hivos menyelenggarakan diskusi “Pojok Energi: Sustainable Cities” pada tanggal 4 Oktober 2017 di Cikini, Jakarta Pusat. Hadir sebagai pembicara adalah Erni Pelita Fitratunnisa (Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta), Andy Simarmata (Thamrin School Reader on Urban Environment), Ahmad Safrudin (Komite Penghapusan Bensin Bertimbal), dan Bambang Sumaryo (Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap). Kegiatan kali ini ini juga dihadiri berbagai kalangan. Baik dari pengamat kelistrikan, blogger, warga kota, pegiat sosial, hingga pengusaha.
Sebagai pembicara pertama, Fitratunnisa yang akrab dipanggil Fitri menjelaskan setidaknya ada lima isu strategis pengelolaan lingkungan hidup Jakarta, yaitu sampah, permukiman, transportasi, pencemaran, dan banjir. Beberapa upaya dan aksi telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, antara lain pembersihan sungai dan waduk, pemanfaatan sampah menjadi sumber energi, relokasi warga bantaran sungai ke rumah susun, hingga peningkatan kualitas transportasi umum.
Untuk isu perubahan iklim, Pemerintah DKI Jakarta berkomitmen untuk melakukan aksi baik aksi adaptasi maupun mitigasi. “Hal tersebut tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012, pada alinea ketiga bagian pengantar,” jelas Fitri. Pemerintah DKI Jakarta sendiri tambah Fitiri, sudah memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Gas Rumah Kaca yang diatur dalam Peraturan Gubernur No. 131 Tahun 2012.
Andy Simarmata sebagai pembicara kedua membuka sesi dengan pemaparan korelasi konsumsi dengan pertumbuhan konsumsi energi kota-kota di dunia. Kota seperti New York dan Tokyo, meski konsumsi energinya sangat besar, tetapi pertumbuhan energi per tahun relatif kecil. Sementara Jakarta, Delhi, dan Manila yang memiliki konsumsi energi relatif kecil dibanding kota lain, memiliki pertumbuhan konsumsi energi yang besar. “Hal ini dikarenakan di kota-kota dengan konsumsi energi yang tinggi, kota yang maju telah menerapkan usaha efisiensi energi,” ujar Andy Simarmata.
Secara garis besar Andy Simarmata menerangkan tiga usaha yang dapat dilakukan oleh Jakarta agar dapat menjadi kota yang berkelanjutan. Pertama, dari segi yang paling luas dan paling awal adalah perencanaan kota seperti zonasi. Di level perumahan desentralisasi dan pengalihan energi ke energi terbarukan juga ditekankan. Sedangkan pada level rumah tangga, langkah efisiensi dan desain rumah hemat energi menjadi penting.
Ahmad Safruddin dari Komite Pembebasan Bensin Bertimbal menjelaskan tantangan transportasi di Jakarta adalah kemacetan dan polusi udara akibat sisa pembakaran kendaraan bermotor. Masalah kemacetan berdampak pada masalah lain seperti penurunan produktivas kerja, pemborosan BBM, dan masalah kesehatan. Bahkan biaya kemacetan menurut perhitungan pada tahun 2014 mencapai Rp 63,5 T.
Pria yang akrab dipanggil Puput ini menjabarkan, solusi transportasi Jakarta bisa diselesaikan dengan dua pendekatan, yaitu dengan pendekatan teknologi dan non-teknologi. Saat ini sudah berkembang beberapa teknologi kendaraan bermotor seperti mobil listrik atau mobil hibrid. Namun, Puput mengingatkan bahwa pemilihan teknologi harus disesuaikan dengan kondisi dan lokasi diterapkan teknologi. Dibutuhkan perhitungan dan kajian yang cermat sebelum teknologi diterapkan secara luas. Bisa jadi sebuah teknologi lebih efisien di suatu negara tetapi justru lebih boros di negara lain.
Beberapa kebijakan berkaitan dengan teknologi yang bisa diterapkan antara lain peningkatan kinerja kendaraan dengan penerapan standar EURO 4 atau EURO 6, dan scraped car bagi kendaraan yang berumur tua yang tidak efisien.
Sementara beberapa opsi yang bisa dilakukan dari segi non teknologi adalah pergeseran ke kendaraan umum atau pembiasaan warga untuk memilih moda transportasi non motor.
Teknologi energi terbarukan saat ini juga sudah banyak berkembang. Namun, menurut Bambang Sumaryo, Indonesia masih tertinggal dari segi penerapan. Saat ini harga listrik yang dibangkitkan dari energi matahari sudah semakin murah. Bambang Sumaryo menuturkan, beberapa waktu yang lalu Arab Saudi telah menekan kontrak PLTS dengan harga pembangkitan mencapai USD 1,7 sen/kWh. Dibandingkan dengan harga PLTU yang harga batubaranya saja sudah mencapai USD 4 sen/kWh, harga tersebut jelas sangat murah.
Salah satu permasalahan teknis pembangkit tenaga surya adalah sifatnya yang intermittent sehingga membutuhkan teknologi penyimpanan. Teknologi yang ditengarai bisa mengatasi masalah tersebut adalah mobil listrik. Rata-rata mobil listrik saat ini memiliki baterai/storage dengan kapasitas rata 26 kWh, sementara rata-rata konsumsi energi rata-rata masyarakat Indonesia berada pada sekitar 20 kWh. Bahkan saat ini produsen mobil listrik Tesla telah memiliki teknologi mobil listrik dengan kapasitas penyimpanan listrik sebesar 100 kWh.
Menurut Bambang Sumaryo, hal ini yang sekiranya membuat PLN cukup resisten. Dari segi korporasi, PLN akan merasa rugi jika masyarakat telah bisa memproduksi energi secara mandiri.
Sesi diskusi yang berlangsung setelah pemaparan para pembicara berlangsung cukup seru. Para peserta yang berasal dari latar belakang yang bervariasi menyampaikan pertanyaan dan masukan yang beragam.
Salah satu peserta yang berlatar belakang pengusaha mengaku saat ini telah memiliki teknologi RDF yang dapat secara otomatis memilah dan mengolah sampah organik dan anorganik. Peserta lain yang aktif di kegiatan kampanye pengolahan sampah menuturkan upaya pengolahan di hulu melalui pemilahan sudah saatnya diterapkan lebih masif. Peserta lain memberi saran bahwa upaya edukasi menjadi solusi yang seharusnya dilakukan lebih gencar.
Fitri dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menjabarkan bahwa saat ini telah banyak program yang dilakukan oleh Pemprov Jakarta. Dalam tataran advokasi Pemerintah Provinsi Jakarta memiliki program hingga sekolah-sekolah.
Pada akhir diskusi, Andy Simarmata menegaskan bahwa konsistensi terhadap perencanaan kota musti dijaga. Bermacam teknologi tersedia menjadi kurang optimal jika pemangku kebijakan kurang setia terhadap rencana awal. Untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota yang berkelanjutan dibutuhkan kajian dan pemahaman yang komprehensif. Dibutuhkan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan Kota Jakarta baik warga, akademisi, pengusaha, maupun pemerintah.
Artikel ini ditulis oleh Kukuh Samudra (internee di IESR) dan disunting oleh Hening Marlistya Citraningrum.