Terdapat potensi pemanfaatan tenaga surya yang cukup tinggi di Jakarta dan daerah urban lainnya di Indonesia.
Pada tanggal 10 Oktober lalu di Jakarta, IESR bersama dengan GIZ-INFIS melakukan diskusi grup terarah mengenai hasil studi potensi pasar rooftop solar di Jabodetabek. Untuk membahas hasil studi pasar ini secara lebih luas dengan publik, IESR menyelenggarakan Pojok Energi #9 dengan tema Diskusi Urban: Memanen Energi Surya. Seri diskusi ini mengundang Harris (Direktur Aneka Energi, Kementerian ESDM), Dhiah Karsiwulan (Advisor untuk GIZ-INFIS), dan Esa Pamudji (CEO LEIN Power); dan dimoderatori oleh Marlistya Citraningrum dari IESR.
Studi potensi pasar rooftop solar yang dilakukan oleh GIZ-INFIS dengan IESR menunjukkan adanya minat masyarakat untuk menggunakan rooftop solar. Meski demikian, sebagian besar dari mereka belum beranggapan bahwa rooftop solar merupakan kebutuhan yang mendesak dan harus dipenuhi segera, termasuk karena adanya pertimbangan finansial.
Dhiah menjelaskan bahwa studi potensi pasar ini dilakukan pada 500 rumah tangga kalangan menengah ke atas di Jabodetabek. Dari penggalian terhadap pola konsumsi energi rumah tangga responden, terlihat bahwa responden telah sadar mengenai penggunaan energi namun dengan alasan ekonomi. Mereka menggunakan lampu hemat energi, mematikan lampu yang tidak terpakai, hingga menggunakan cahaya matahari di siang hari dengan motif mengurangi biaya tagihan listrik. Perilaku sadar lingkungan (green lifestyle) belum menjadi alasan utama. Saat ditanya mengenai minat menggunakan solar rooftop, mereka menyebutkan alasan pengurangan biaya tagihan listrik dan keinginan memiliki cadangan listrik bila terjadi pemadaman arus listrik dari PLN.
Esa Pamudji dari LEIN Power yang telah memiliki portfolio cukup banyak dalam layanan penyediaan rooftop solar mengatakan bahwa banyak dari kliennya yang juga memiliki motif sama, yaitu mengurangi biaya tagihan listrik. Meski demikian, karena demografi klien LEIN Power mencakup kelas atas yang tidak terlalu memikirkan biaya, pemilik rumah juga menganggap bahwa memiliki instalasi rooftop solar merupakan hal yang patut dibanggakan. “Kepala keluarga, yaitu si bapak, merasa bahwa rumah yang memiliki rooftop solar terlihat keren, sedangkan pengurangan biaya tagihan listriknya itu bonus untuk istri,” ujar Esa mengulangi apa yang disampaikan oleh salah satu pemilik rumah yang memasang rooftop solar.
Sejak Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap diluncurkan pada tahun 2017, terjadi peningkatan jumlah pengguna rooftop solar yang tersambung jaringan (grid-tied). Menurut catatan PLN, jumlah pelanggan dengan rooftop solar naik dari 268 pada bulan September 2017 menjadi 458 pada bulan Juli 2018. Peningkatan ini menunjukkan adanya minat dari masyarakat saat mereka telah mengetahui informasi yang jelas mengenai rooftop solar. Salah satu temuan studi potensi pasar yang dilakukan GIZ-INFIZ adalah kurangnya paparan informasi untuk masyarakat, termasuk di mana mereka dapat membeli instalasi rooftop solar dengan kualitas yang baik dan harga yang terjangkau.
Harris dari Kementerian ESDM menjelaskan bahwa sejak tengah tahun 2018, pemerintah sedang menyusun kerangka regulasi rooftop solar melalui Peraturan Menteri. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan responden studi potensi pasar rooftop solar dalam memutuskan apakah mereka akan memasang atau tidak. Menurut Harris, pemerintah sudah mengetahui hal ini dan berupaya untuk memasukkan ragam aspek perizinan, teknis, dan transaksi kredit listrik yang dapat mendukung meluasnya pemanfaatan rooftop solar di Indonesia. Tarik ulur substansi yang masih menjadi pembahasan adalah adanya kekhawatiran pengurangan pendapatan PLN apabila masyarakat beralih menggunakan rooftop solar. Pengurangan pendapatan ini sebenarnya terbilang kecil dibanding pendapatan total PLN, karena berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan IESR, bila instalasi kumulatif rooftop solar mencapai 1 GW maka PLN hanya akan mengalami pengurangan pendapatan sebesar 0,42%.
“Selain transaksi kredit listrik, tentu juga akan diatur mengenai perizinan, standar pemasangan, dan vendor,” demikian disampaikan Harris. Regulasi rooftop solar tersambung jaringan PLN saat ini masih menggunakan Keputusan Direksi, yang seringkali berbeda implementasinya di masing-masing kantor regional. Peraturan Menteri yang saat ini tengah didiskusikan diharapkan dapat mempermudah masyarakat yang ingin menggunakan rooftop solar. Kantor Regional Distribusi Jakarta Raya merupakan salah satu kantor regional PLN yang telah melayani banyak pelanggan tanpa kesulitan berarti. Sementara itu di daerah lain, penyediaan meter exim dan verifikasi instalasi sering memakan waktu cukup lama.
Dalam diskusi ini muncul pula beberapa pertanyaan, misalnya bagaimana implementasi rooftop solar dengan baterai, skema pembiayaan apa yang sebaiknya ada mengingat investasi awal yang cukup tinggi, hingga bagaimana kalangan industri dapat ambil bagian tanpa terhambat aturan pembangkit paralel. Untuk kalangan menengah atas di perkotaan, skema pembiayaan cicilan pembelian barang dengan tenor rendah (di bawah 5 tahun) merupakan salah satu skema yang diminati. Salah satu aspirasi yang disampaikan responden studi potensi pasar rooftop solar adalah model pembiayaan yang terjangkau. Jakarta dan daerah urban lainnya dengan demografi penduduk yang serupa merupakan target sasaran yang berpotensi tinggi, hasil studi potensi pasar ini menunjukkan terdapat potensi early adopters dan early followers sebanyak 13%. Untuk area Jabodetabek saja, angka ini setara dengan 166.000 – 184.000 rumah yang dapat berkontribusi pada > 300 MW akumulasi rooftop solar.
Diskusi ditutup dengan makan malam dan bincang-bincang.