Mengejar Ekonomi Hijau di tengah Inkonsistensi Kebijakan dan Kelimpahan Batubara

Pemerintah dinilai belum mampu menyediakan regulasi yang mendorong dunia usaha untuk mewujudkan bisnis yang berkelanjutan dan mengurangi dampak emisi gas karbon pada lingkungan. Sementara transformasi Indonesia menuju pembangunan rendah karbon dinilai masih berjalan di tempat karena belum adanya kejelasan yang mengatur mengenai aspek supply dan demand, serta komitmen yang kuat untuk mendorong ekonomi hijau.

Hal ini ditandaskan oleh Budi Santosa, Direktur Eksekutif Indonesia Business Council for Sustainable Development, dalam diskusi panel Transformasi Indonesia Menuju Ekonomi Hijau dalam acara peluncuran Brown to Green Report Indonesia, 21 November 2015, di Jakarta.

Selain Budi, para panelis yang berdiskusi adalah Benhur PL Tobing, Kasubdit Perlindungan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementrian ESDM, Dudi Rulliadi Kepala Sub Bidang Kerja Sama Pendanaan Lembaga Internasional dan Negara Mitra, Badan Kebijakan Fiskal, Dida Gardera, Asisten Deputi Menteri untuk Konservasi Lingkungan, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, diskusi ini dipandu oleh Suzanty Sitorus.

“Ada empat aspek yang mendorong bisnis ekonomi hijau, yaitu: regulasi, pasar, investor dan kesukarelaan. Prospek bisnis hijau ini masih jalan di tempat. Jelas ada permasalahan antara supply and demand. Di market kita juga belum melihat adanya komitmen yang kuat terkait hal ini. Semua itu bergantung pada mekanisme pasar,” jelasnya.

Menurut Budi pemerintah sendiri telah menyiapkan sejumlah instrumen kebijakan untuk mendorong pengembangan bisnis hijau, namun pelaksanaannya di tingkat lapangan belum disiapkan, sehingga masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Namun ditengah rasa pesimis ini, Budi meyakini tujuan ekonomi hijau akan bisa diwujudkan suatu hari nanti.

Sementara mewakili pemerintah, Benhur PL Tobing menjelaskan, bahwa transisi menuju ekonomi hijau membutuhkan waktu dan sumber daya yang memadai. Saat ini untuk sektor energi Indonesia masih menggunakan batubara karena sumber daya ini yang mampu memenuhi kebutuha energi dengan pasokan yang memadai, sementara pasokan dari sumber energi terbarukan belum menunjukan pertumbuhan yang berarti.

Meski demikian, upaya untuk melakukan transisi energi telah dilakukan oleh pemerintah dengan menyiapkan instrument pendanaan untuk mendorong investasi energi terbarukan seperti tax holiday dan penjaminan pemerintah.

“Sifatnya memang masih dukungan dan belum sebagai anggaran dengan nominal yang ditetapkan seperti di kasus di India atau Afrika Selatan yang menyediakan dana khusus untuk menngembangan energi terbarukan. Angka definitifnya belum ditetapkan karena upaya ini masih dalam tahap pengkajian,” jelas Dudi.

Bukan bisnis yang menjanjikan

Melengkapi Budi, Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif IESR  memberi pandangan bahwa  saat ini kita tengah melihat adanya new economy of our generation yang berubah, seiring dengan adanya kemajuan teknologi saat ini dan kaitannya dengan upaya-upaya menekan emisi karbon.

Bagaimana perubahan ini bisa ditangkap atau terefleksi dalam regulasi, karena transisi dan transformasi adalah proses dari yang sekarang menuju ke depan yang harus dirancang agar tidak terjadi disrupsi.

“Jadi kalau ada yang bilang Indonesia masih punya batu bara dan gas, tantangannya adalah bagaimana konsep ini tetap menggunakan sumber-sumber daya tersebut namun emisinya bisa ditekan melalui pemanfaatan teknologi ini,” kata Fabby.

Dia menambahkan dalam hal pendanaan untuk energi terbarukan sumber utamanya masih bergantung pada APBN. Tetapi dana ini terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan biaya investasi untuk mencapai target RUEN. Ada kebutuhan pembiayaan yang cukup besar. Sayangnya energi efisiensi ini belum dilihat sebagai bisnis yang menjanjikan. Sedangkan di negara lain seperti India, Cina, dan Jerman, Pemerintahnya sangat mendorong pasar EBT dengan menciptaka sumber pendanaan lain.

“Kita perlu instrument sumber dana pembiayaan di luar APBN,” kata Fabby. IESR sendiri telah melakukan kajian mengenai pengembangan sumber pendanaan energi terbarukan yang diperoleh dari beberapa sumber pertama: dana ekspor batubara. Kebutuhan batubara domestik tidak terganggu, sedangkan pembiayaan dibebankan kepada konsumen luar negeri yang mengimpor batubara dari Indonesia.

Kedua, dana dari penjualan tarif listrik. Tarif listrik khusus dikenakan bagi mereka yang menggunakan listrik di atas 2.200 watt (kecuali industri). “Bahkan kalau perlu dimulai dari  pemakaian di atas 1.300 watt harus membayar listrik sesuai tarif yang ditetapkan,” tandas Fabby. Sedangkan usulan yang ketiga sumber pendanaan dapat diambil dari Bahan Bakar MInyak (BBM). “Bagi pemakai BBM kelas pertamax atau di atas 92 dikenakan pajaknya 2,5%” tambah Fabby. Yang pasti harus ada transparansi dalam pembiayaan BBM ini.

Dari studi ini diperkirakan akan diperoleh dana tambahan sekitar 3-5 milyar dollar pertahun. Pemasukan ini sangat bisa untuk pengembangan energi bersih. “Sehingga ke depannya jika ingin melelang titik lokasi sumber EBT, kita tinggal tunjuk koordinatnya berdasarkan data yang ada,” ujarnya.

Data inilah yang mahal dan kita tidak punya. Data didapat dari hasil penelitian survey yang dananya tidak sedikit. Penelitian yang sekarang kebanyakan berasal dari World Bank. Di masa yang akan datang, Indonesia yang sudah berada di Middle-Income Energy Economy bisa saja tidak akan mendapat dana dari World Bank lagi untuk melakukan penelitian-penelitian. Sedangkan bank konvensional yang ada  sulit mendanai investasi EBT. “Disinilah kita sangat perlu regulasi,” ujar Fabby.

Upaya Pemerintah

Lalu sebenarnya upaya Pemerintah yang sudah dilakukan untuk menuju transisi dari energi kotor ke energi bersih ini apa saja? Dida Gardera menjelaskan bahwa saat ini terus menggodok regulasi terkait penerapan pajak karbon. “Targetnya selesai pada tahun 2020. Jadi bisa diimplementasikan pada tahun 2021 sesuai Paris Agreement. Harmonisasi regulasi terkait perubahan iklim juga ditargetkan selesai pada tahun 2020,” ujar Dida.

Pemerintah juga membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan yang nantinya menjadi semacam holding untuk mitigasi dan adaptasi. Selain itu, juga disiapkan sebuah skema Badan Layanan Umum (BLU) untuk mengelola pendanaan bagi pengembangan proyek-proyek energi bersih yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga pendanaan, sektor swasta dan juga pemerintah.

Indonesia not doing so bad

Laporan Brown to Green yang diluncurkan secara garis besar disambut baik oleh pihak pemerintah dan pelaku bisnis. Laporan ini dinilai cukup fair walaupun ada tambahan usulan di sana-sini demi kebaikan bersama di masa depan. Bahkan diantara negara-negara G20, Indonesia not doing so bad, lumayan. Hal ini harus terus menjadi pemicu transisi energi dari brown menjadi green. Walaupun NDC kita  targetnya tidak terlalu tinggi meski cukup ambisisius, kita perlu upaya-upaya akselerasi agar transisi segera terwujud .

Upaya-upaya tersebut yang pertama adalah adanya koordinasi dan harmonisasi kebijakan. Konsisten dengan apa yang dijanjikan dan menjadi komitmen kepada dunia khususnya kepada bangsa Indonesia dapat dilaksanakan.

Upaya kedua, dengan adanya konsistensi membuka peluang investasi swasta untuk melengkapi pendanaan publik dalam rangka mewujudkan transformasi ekonomi kita menjadi lebih hijau.

Jika kedua hal terebut dilaksanakan rasanya Transformasi Indonesia menuju Ekonomi Hijau dapat terwujud dengan transisi yang dipercepat. (*)

 

Share on :