Memenuhi Kebutuhan Produk Hijau Melalui Dekarbonisasi Industri

Jakarta, 15 November 2024 –  Komitmen global untuk membatasi kenaikan temperatur bumi di 1,5 derajat Celcius telah mendorong tren transisi energi dan aktivitas penurunan emisi di berbagai sektor, termasuk sektor industri. Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk menerapkan sistem industri hijau sebagai strategi utama untuk untuk menjaga daya saing industri Indonesia di tengah peningkatan standar keberlanjutan di beberapa kawasan. Langkah ini juga akan mendukung pencapaian Indonesia mewujudkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal.

Juniko Nur Pratama, Manajer Program Dekarbonisasi Industri, IESR menyebut tren transisi energi global dan komitmen Indonesia untuk pencapaian NZE 2060 atau lebih awal turut membawa perubahan terhadap peningkatan kesadaran masyarakat dalam produk dan gaya hidup ramah lingkungan (green lifestyle) dan rendah emisi. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya industri melakukan upaya penurunan emisi atau dekarbonisasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin peduli terhadap keberlanjutan lingkungan.

“Pemerintah Indonesia telah menetapkan konsep industri hijau yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Seiring meningkatnya tuntutan global akan produk berkelanjutan, industri yang menerapkan prinsip keberlanjutan mampu menjawab tantangan pasar sekaligus mendukung target dekarbonisasi nasional,” ujar Juniko dalam Webinar Tren Pertumbuhan Industri Hijau dan Persepsi Green Lifestyle Konsumen Indonesia pada Jumat (15/11).

Faricha Hidayati, Koordinator Dekarbonisasi Industri, IESR mengungkapkan terdapat lima pilar dekarbonisasi sektor industri yaitu efisiensi sumber daya, efisiensi energi, substitusi bahan bakar dan material yang rendah karbon dan elektrifikasi dengan energi terbarukan, penggunaan teknologi rendah karbon, serta pemanfaatan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, khususnya untuk mengurangi emisi dari industri yang sulit di dekarbonisasi secara teknis (hard to abate industries).

“Upaya dekarbonisasi sektor industri dapat dimulai dengan melakukan efisiensi sumber daya dan efisiensi energi. Namun, pemerintah juga perlu mendorong dekarbonisasi panas industri, yang merupakan kontributor emisi yang signifikan. Salah satu caranya dengan mengalihkan sumber energi yang padat fosil ke energi yang terbarukan,” jelas Faricha. 

IESR mendorong pemerintah dan pemangku kepentingan untuk terus memperkuat kolaborasi dalam pengembangan industri hijau. Langkah ini mencakup pengembangan kebijakan yang mendukung adopsi teknologi bersih, pemberian insentif untuk inovasi hijau, dan peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya gaya hidup hijau.

Andi Rizaldi, Kepala Badan Standarisasi dan Kebijakan Jasa Industri, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memaparkan pihaknya mendorong industri hijau di antaranya dengan penerapan Sertifikat Industri Hijau (SIH). Hingga 13 November 2024, Kemenperin telah menerbitkan 128 sertifikat industri hijau. Setiap perusahaan yang sudah menerima SIH dapat  menggunakan Logo Industri Hijau pada kemasan produknya. Logo Industri Hijau merupakan bentuk pelabelan hijau (green labelling). 

“Saat ini perusahaan dan industri telah mempertimbangkan jejak karbon dari bahan baku yang digunakannya. Hal ini dalam rangka untuk memenuhi permintaan konsumen terkait produk ramah lingkungan. Strategi yang dilakukan oleh produsen adalah dengan mempersyaratkan kinerja keberlanjutan seperti melalui sertifikat hijau atau sejenisnya kepada seluruh supplier,” tegas Andi. 

Ia juga menambahkan bahwa green labelling dapat menjadi alat strategis untuk membangun kepercayaan konsumen terhadap produk hijau. Green labelling sebagai penanda produk hijau (green product) tidak hanya meningkatkan daya saing produk di pasar lokal dan global, tetapi juga memberikan informasi yang jelas kepada konsumen bahwa produk tersebut mendukung upaya keberlanjutan lingkungan.

Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menekankan pentingnya pelabelan yang dilakukan oleh lembaga yang tersertifikasi dan mempunyai otoritas untuk mengeluarkan izin pelabelan, sehingga masyarakat mendapat informasi yang akurat dan tidak ada kesalahan informasi sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 

“Penerapan label itu sangat penting tetapi label yang betul-betul absah tersertifikasi oleh lembaga yang punya kompetensi. Misalnya, kalau kita beli beras dengan label organik, label tersebut harus dikeluarkan oleh lembaga terpercaya, bukan dibuat sendiri oleh produsennya. Hal semacam itu tidak fair (adil) dan bisa dianggap sebagai pengelabuan,” imbuhnya.

Share on :

Leave a comment