Jakarta, 19 November 2024 – Sektor transportasi merupakan salah satu kontributor utama polusi udara di Indonesia akibat penggunaan bahan bakar minyak (BBM) berkualitas rendah. Untuk memperbaiki kualitas udara, pemerintah perlu melakukan pengetatan kualitas BBM yang dijual di wilayah Indonesia.
Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank di bidang energi terbarukan dan lingkungan bersama Center of Reform on Economics (CORE Indonesia), Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), dan Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) pada Selasa (19/11/2024) meluncurkan kajian “Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM pada Aspek Lingkungan, Kesehatan, dan Ekonomi.” Kajian ini menunjukkan pengetatan standar kualitas bahan bakar minyak (BBM) setara dengan Euro IV dapat berdampak terhadap pengurangan polusi udara, peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, serta menurunkan biaya sosial dan ekonomi yang diakibatkan karena peningkatan biaya kesehatan, hilangnya kesempatan ekonomi, dan kerusakan lingkungan, serta mendukung pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menjelaskan bahwa sekitar 45 persen polusi udara di Jakarta berasal dari sektor transportasi. Fabby mengungkapkan bahwa mayoritas BBM di pasar Indonesia, seperti Pertalite dan Pertamax, memiliki kualitas rendah yang diindikasikan dari kandungan sulfur mencapai 150–400 ppm, jauh di atas standar Euro IV. Sulfur merupakan komponen alami minyak mentah yang terdapat pada bensin dan diesel. Saat dibakar, sulfur menghasilkan emisi berupa sulfur dioksida (SO2). Untuk itu, ia mendorong penurunan kandungan sulfur dengan memperketat standar kualitas BBM, seperti menerapkan Euro IV yang membatasi sulfur maksimal 50 ppm.
“Polusi udara menyebabkan kerugian perekonomian yang meningkatkan biaya kesehatan, menurunkan produktivitas masyarakat dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan laporan Bank Dunia, polusi udara di Indonesia mengurangi PDB negara sekitar US 220 miliar atau sekitar 6,6 persen per tahun. Jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen, seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo, maka pemerintah perlu sungguh-sungguh mengatasi masalah polusi udara ini,” tandas Fabby dalam sambutannya.
Ia mengungkapkan bahwa penerapan standar Euro IV dan lebih tinggi memerlukan investasi yang relatif besar untuk teknologi pengolahan bahan bakar, serta memperbarui infrastruktur kilang minyak. Meskipun demikian, biaya ini akan terbayar dari perbaikan kualitas udara yang berdampak pada penurunan biaya kesehatan dan pertumbuhan ekonomi yang jauh signifikan dibandingkan investasi yang dikeluarkan.
Prof. Budi Haryanto, Ketua RCCC UI menuturkan bahwa di Jakarta, total kasus penyakit akibat polusi udara, seperti ISPA, asma, radang dan infeksi paru-paru, mencapai 175 ribu hingga 599 ribu kasus pada periode 2016-2021. Total biaya pengobatan yang diklaim melalui BPJS pada periode yang sama mencapai Rp191 juta hingga Rp1,8 milar pada periode yang sama.
“Kualitas udara yang lebih bersih akan mengurangi risiko rawat inap dan biaya pengobatan terkait penyakit akibat polusi. Dengan mempromosikan kualitas BBM yang lebih tinggi, maka dapat melindungi kesehatan masyarakat sekaligus mengurangi beban ekonomi yang disebabkan oleh biaya pengobatan jangka panjang,” kata Prof Budi.
Julius Christian, Analis Senior IESR, yang juga merupakan salah satu penulis kajian tersebut, mengungkapkan kajian ini menemukan bahwa penerapan standar BBM Euro IV dapat secara signifikan mengurangi beban polusi udara di Jabodetabek. Penerapan ini mampu menurunkan emisi polutan seperti CO, NOx, SO2, serta konsentrasi PM2.5 dan PM10 hingga lebih dari 80 persen. Selain itu, peningkatan kualitas BBM ke standar Euro IV juga berpotensi menurunkan lebih dari 50 persen penyakit yang disebabkan oleh polusi udara. Dari sisi kesehatan, langkah ini dapat menghemat biaya pengobatan hingga Rp550 miliar per tahun, hanya untuk Jakarta.
“Penerapan BBM Euro IV akan meningkatkan biaya produksi BBM, yang dapat ditanggung oleh pemerintah melalui penambahan anggaran subsidi. Tanpa kompensasi melalui subsidi, maka dapat memicu peningkatan inflasi. Alternatif lain, pemerintah dapat menerapkan pembatasan akses BBM subsidi sehingga dapat menghemat anggaran dan membatasi dampak inflasi ke sebagian segmen masyarakat saja,” jelas Julius.
Kajian ini merekomendasikan lima upaya untuk meningkatkan kualitas udara dan menurunkan emisi di sektor transportasi. Pertama, membuat kebijakan komprehensif dengan standar kualitas BBM yang lebih ketat. Kementerian ESDM perlu segera menerbitkan aturan spesifikasi bahan bakar kendaraan bermotor yang selaras dengan Permen LHK No. 20/2017, yang mensyaratkan spesifikasi bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan teknologi mesin kendaraan Euro IV.
Kedua, pemerintah perlu menyusun regulasi dan peta jalan untuk pengetatan baku mutu emisi kendaraan bermotor lebih lanjut. Pengetatan ini, hingga standar Euro VI, akan mendukung daya saing industri otomotif di pasar global yang semakin mengutamakan standar emisi yang lebih ketat.
Ketiga, memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terkait implementasi standar Euro IV serta peningkatan edukasi masyarakat tentang pentingnya bahan bakar dan kendaraan rendah emisi.
Keempat, meningkatkan infrastruktur pengolahan dan distribusi bahan bakar minyak. Pertamina perlu berinvestasi guna meningkatkan kemampuan kilangnya, baik melalui kerja sama dengan badan usaha swasta lewat skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) maupun melalui penanaman modal negara (PMN). Selain itu, sekitar 30 persen BBM di pasar berasal dari impor, sehingga mengalihkan impor ke BBM yang memenuhi persyaratan Euro IV dapat menjadi solusi jangka pendek.
Kelima, mendorong penggunaan transportasi publik dan kendaraan ramah lingkungan serta manajemen lalu lintas berbasis eko-sensitif (eco-sensitive traffic management) untuk mengurangi emisi kendaraan melalui penerapan insentif dan disinsentif.