Jakarta, 15 November 2024 – Terdapat peningkatan minat masyarakat untuk beralih pada produk-produk hijau. Hal ini didorong oleh naiknya kesadaran konsumen akan fenomena perubahan iklim, dan dampaknya sehingga mempengaruhi pilihan produk yang digunakan pada aktivitas sehari-hari.
Juniko Nur Pratama, Program Manajer Dekarbonisasi Industri Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa pergeseran pola konsumsi ini akan mempengaruhi pola produksi yakni mendorong industri untuk bertransformasi menjadi industri hijau.
“Penting untuk mengidentifikasi peluang sekaligus tantangan yang dihadapi dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam sektor industri, sambil tetap menjaga daya beli masyarakat,” kata Juniko.
Andi Rizaldi, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri, Kementerian Perindustrian, menjelaskan bahwa saat ini pemerintah sedang berupaya menyusun sejumlah aturan insentif bagi industri yang mengadopsi standar industri hijau.
“Insentif yang diberikan saat ini berupa penambahan kalkulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), selanjutnya kami memikirkan untuk memberikan insentif berupa pemberian label green product, dan produk ini akan dapat masuk dalam katalog pengadaan barang publik oleh lembaga pemerintah,” jelas Andi.
Sosialisasi kepada pelaku industri menjadi poin penting dalam agenda akselerasi industri hijau. Hal ini disampaikan oleh Irpan Restu Ade Putra,Sustainability & Compliance Manager, PT. Ever Shine Tex, Tbk. yang mulai mencoba mengadopsi standar industri hijau sejak tahun 2023 namun belum berhasil mendapatkan sertifikasi dan sedang mengupayakan sertifikasi tahun ini.
“Tahun lalu (2023-red) prosesnya masih belum memahami sehingga saat implementasi masih ada gap-gap (kesenjangan) dan standar yang belum dipenuhi. Tahun ini dicoba kembali untuk bisa sertifikasi industri hijau karena sudah ada pembekalan dari Kementerian Perindustrian untuk pendampingan teknis, sehingga sekarang kami sudah lebih mengerti,” katanya.
M.F. Dahlan, Vice Chief Operating Officer, Green Product Council Indonesia mengatakan bahwa sertifikasi industri hijau ini akan bermanfaat selain untuk menaikkan prestise dari perusahaan dan produk yang dihasilkan, juga dapat menjadi satu cara untuk mencari pendanaan hijau.
“Proses sertifikasi sangat membantu bagi industri sehingga mereka memiliki data primer untuk konteks environmental and social governance, yang menjadi tolak ukur global. Hal ini juga bisa digunakan untuk mengakses green financing atau pembiayaan hijau,” jelas Dahlan.
Dari sudut pandang konsumen, adanya sertifikasi dan pelabelan ini memberikan kemudahan untuk konsumen mengidentifikasi barang-barang yang akan mereka gunakan. Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan bahwa UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan bagi produsen untuk melakukan pelabelan (labeling) yang sesuai dengan kandungan atau proses pembuatan suatu produk. Serta pembubuhan label ini dilakukan oleh lembaga kompeten yang memiliki kredibilitas.
“Pemerintah perlu memikirkan skema insentif selain untuk produsen juga konsumen produk yang ramah lingkungan, sekaligus memastikan ketersediaan beragam pilihan produk untuk memenuhi kebutuhan mereka,” kata Tulus.
Faricha Hidayati, Koordinator Program Dekarbonisasi Industri IESR mengatakan bahwa upaya dekarbonisasi industri akan unik di tiap sektor. Ia menekankan perlunya meninjau secara detail setiap pilar dekarbonisasi yang dapat diterapkan oleh pelaku industri.
“Kami melihat praktik efisiensi energi dapat menjadi titik masuk dekarbonisasi industri sebelum masuk dalam pilar dekarbonisasi industri lainnya,” katanya.
Faricha menambahkan secara penyediaan energi dari PLN dapat dilakukan reformasi seperti pembangkitan listrik dari sumber energi terbarukan seperti energi surya yang biaya pokok pembangkitannya sudah cukup setara dengan listrik yang bersumber dari PLTU batubara. Maka perlu juga mendorong perusahaan penyedia energi seperti PLN untuk mengganti sumber-sumber energinya menjadi terbarukan.