Semarang, 22 November 2024 – Transformasi menuju ekonomi hijau di Jawa Tengah adalah langkah penting untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sebagai provinsi dengan potensi besar dalam sektor pertanian, industri, dan energi terbarukan, Jawa Tengah memiliki peluang untuk menjadi model transformasi ekonomi hijau di Indonesia. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan melindungi lingkungan.
Kepala Bidang Perekonomian Bappeda Jawa Tengah, Hermawan, menjelaskan bahwa ekonomi hijau merupakan strategi transformasi ekonomi untuk membantu Indonesia keluar dari middle income trap sebelum 2045. Jawa Tengah menargetkan visi 2025–2045 sebagai provinsi penopang pangan dan industri nasional yang maju, sejahtera, berbudaya, serta berkelanjutan.
“Transformasi menuju ekonomi hijau kami fokuskan pada pembangunan rendah karbon dan penerapan ekonomi sirkular. Kebijakan ini mencakup pengelolaan energi terbarukan, konservasi energi, dan pengembangan industri hijau,” jelas Hermawan dalam acara Peningkatan Kapasitas Ekonomi Hijau yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Bappeda Provinsi Jawa Tengah pada Jumat (22/11).
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa memaparkan pentingnya mempercepat transisi energi menuju sumber energi terbarukan untuk menghadapi tantangan triple planetary crisis yang meliputi perubahan iklim, polusi, dan kerusakan keanekaragaman hayati. Tidak hanya itu, Fabby juga menyoroti bahwa perubahan iklim telah menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp22,8 triliun per tahun akibat bencana hidrometeorologi, termasuk di Jawa Tengah.
“Krisis iklim berdampak besar pada roda ekonomi, seperti kegagalan panen dan peningkatan biaya impor pangan. Kami perlu mempercepat transisi ke energi terbarukan dan memperkuat ekonomi sirkular di tingkat lokal,” ujar Fabby.
Berkaca dari kondisi tersebut, Fabby merekomendasikan penguatan prinsip ekonomi hijau dalam pembangunan Jawa Tengah melalui pendekatan adaptasi dan mitigasi iklim, sosial, dan ekonomi. Adaptasi iklim mencakup konservasi air dan tanah, teknologi pemantauan cuaca, manajemen hama, dan infrastruktur berketahanan iklim. Mitigasi iklim difokuskan pada pengendalian pupuk kimia, biomethane, transportasi rendah karbon, penggunaan energi terbarukan, dan kawasan industri hijau. Dari sisi sosial, pemberdayaan masyarakat, program CSR, EPR, dan transparansi perlu diperkuat. Secara ekonomi, inovasi, akses pembiayaan, pengembangan sumber daya manusia (SDM), dan kemitraan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) perlu menjadi prioritas. Pendekatan ini diharapkan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mendukung visi daerah.
Sementara itu, Anna Amalia, Perencana Madya Direktorat Lingkungan Hidup BAPPENAS, menyampaikan bahwa transformasi ekonomi hijau akan menjadi pilar utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045. Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 6–7 persen per tahun yang didukung oleh pembangunan rendah karbon, tenaga kerja hijau, serta pengembangan infrastruktur ramah lingkungan.
Anna juga menyoroti Indeks Ekonomi Hijau, yang menjadi alat ukur progres transformasi ini. Pada tahun 2023, Indonesia mencatat skor 59,74 dengan kemajuan di beberapa indikator, sementara Jawa Tengah mencatat skor 52,17, masuk kategori baik, tetapi masih menghadapi tantangan di pilar lingkungan akibat rendahnya tutupan lahan dan porsi energi terbarukan.