Jakarta, 9 Desember 2024 – Peningkatan emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil menjadi kontributor utama pemanasan global. Untuk mengatasi hal ini, transisi ke sumber energi bersih menjadi langkah yang perlu dilakukan. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dapat menjadi salah satu solusi untuk menciptakan dunia yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Berdasarkan data IRENA (2024) PLTS di tingkat global mendominasi kontribusi energi terbarukan, mencapai 73% atau 346 GW dari total kapasitas energi terbarukan terpasang pada tahun 2023. Sementara di Indonesia, hingga Agustus 2024, kapasitas energi surya terpasang baru mencapai 0,7 GW (IESR, 2024), dari total potensinya hingga 3.200 GW (Kementerian ESDM, 2023). Untuk meningkatkan jumlah penggunaan energi surya, Pemerintah Indonesia merevisi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk proyek surya. Nilai TKDN diturunkan dari 40% menjadi 20% agar permintaan energi surya meningkat.
Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Oktober 2024 melakukan kunjungan perusahaan manufaktur modul surya di Indonesia. Kunjungan ini dilakukan untuk melihat peluang pengembangan rantai pasok industri modul surya serta mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah dalam mendorong percepatan penggunaan PLTS di Indonesia.
Zaeny Ahmad, Head of Plan dari PT. Indonesia Solar Global, menegaskan bahwa, harga modul surya produksi lokal sangatlah tidak kompetitif dibandingkan produk impor, dimana masih terdapat perbedaan harga sekitar 40% diantaranya.
“Harga modul yang diproduksi produsen lokal berkutat di harga 15-17 cent/kwh, sedangkan modul surya impor seharga 10-12 cent/kwh. Ditambah lagi dengan aturan relaksasi TKDN modul surya impor, maka produk lokal akan kalah saing, “ulas Zaeny.
Perspektif dari pelaku industri surya dalam negeri ini, bisa menjadi evaluasi dari kebijakan yang telah ada. IESR menilai, diperlukannya peningkatan permintaan instalasi modul surya dengan relaksasi impor modul surya, serta memberikan kebijakan yang adil untuk produsen modul solar dalam negeri, agar tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan yakni tak ada pihak yang tertinggal dapat tercapai pada proses transisi ini.
Abraham Octama Halim, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR menjelaskan bahwa, perlu adanya kebijakan yang mendukung industri lokal untuk meningkatkan daya saing mereka. Relaksasi TKDN saat ini justru menjadi tantangan bagi produsen lokal karena memberi ruang lebih besar bagi produk impor. Selain itu, regulasi terkait insentif bea masuk komponen dan pembatasan modul surya impor perlu diselaraskan agar produk lokal lebih kompetitif, baik untuk proyek pemerintah, BUMN, maupun pasar global.
“Pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendukung untuk entitas-entitas yang ingin mengakselerasi pengembangan rantai pasok modul surya di Indonesia, melalui perspektif transisi energi berkeadilan, tata kelola regulasi dan kebijakan yang baik dan benar, tentunya bisa mempercepat target Net Zero Emission (NZE) di Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat,” tegas Abraham.