Semuanya dimulai dengan satu tarikan napas dalam—
seperti yang kita ambil sebelum perjalanan panjang,
atau saat berdiri menghadapi sesuatu yang terlalu besar untuk disebutkan.
Kita tumbuh besar mendengarkan cerita,
bahwa dunia ini akan terus berputar,
bahwa langit akan selalu biru,
dan bumi akan selalu ada menopang kita dengan kokoh.
Namun para pencerita lupa untuk menyebutkan… bahwa ada syarat-syarat untuk semua itu bisa terjadi—
bagaimana langit menjadi gelap ketika kita lalai,
atau bagaimana tanah akan bergoyang di bawah kaki kita saat kita berpura-pura
bahwa kita terlalu kecil untuk memberikan pengaruh.
Kita diberitahu, bahwa kita ini kecil.
Satu dari delapan miliar penduduk bumi,
apa yang bisa dilakukan oleh satu suara?
Namun, saya belajar sesuatu:
Setiap cerita memiliki denyut nadinya sendiri.
Dan masing-masing dari kita memegang kekuatan untuk mengubah akhir ceritanya.
Karena langit? Itu berubah.
Bumi? Itu bergetar.
Dan angin—ia membawa suara kita,
entah kita memilih berbicara atau diam.
Saya ingat pertama kali saya merasakan itu,
ketika saya mendapatkan pencerahan.
Saat itu senja di bulan Agustus,
udara lengket dengan panas dan harapan.
Saya duduk di pantai, di atas pasir sambil menyaksikan matahari tenggelam ke tepi lautan,
melukis langit dengan semburat jingga,
dan meninggalkan bayangan panjang lembayung.
Saya bertanya dalam hati:
“Bagaimana jika ini adalah matahari terbenam terakhir yang indah seperti ini?”
“Bagaimana jika pelukan hangat mentari berubah menjadi kobaran api yang membakar?”
Refleksi itu membebani pikiran saya,
seperti udara yang tenang sebelum badai datang.
Saya tidak tahu harus mulai dari mana,
jadi saya memulai dari yang kecil.
Karena terkadang, itulah satu-satunya yang bisa kita lakukan.
Seringkali kita diberitahu bahwa dunia terlalu besar untuk kita ubah,
tapi bagaimana jika justru kitalah yang terlalu besar untuk dunia ini,
ketika kita mencoba berjalan sendirian?
Saya pernah mendengar cerita tentang seorang anak perempuan kecil
yang menanam satu pohon,
dan seorang anak laki-laki yang bersepeda setiap hari ke sekolah,
atau seorang Ibu yang selalu sigap untuk mematikan lampu dirumahnya ketika tidak diperlukan.
Pada awalnya, tampaknya itu bukan apa-apa,
hanya tindakan kecil,
tapi bila dilakukan bersama-sama—
mereka dapat tumbuh lebih dahsyat daripada badai.
Terkadang, saya teringat almarhum kakek saya.
Dia biasa bercerita bagaimana tanah saat dia dahulu kecil lebih subur,
mata air dan sungai lebih jernih,
dan udara lebih segar.
Dia tidak menyampaikan itu semua layaknya ceramah atau pidato di depan forum internasional —
hanya cerita sederhana.
Namun, cerita-cerita itu tetap tinggal bersama saya,
mengajari saya bagaimana melihat dunia,
bukan hanya sebagaimana adanya,
tetapi bagaimana seharusnya.
Dia selalu berkata,
“Setiap hal kecil yang kamu lakukan itu penting,
seperti tetes-tetes air yang berkumpul,
mereka dapat menjadi sungai.”
Kita adalah tetes-tetes air itu.
Kecil, ya.
Namun banyak.
Dan bersama-sama,
kita dapat membentuk arus yang cukup kuat untuk membuka jalan baru.
Sebagai manusia, kita ingin meninggalkan warisan—
sebuah jejak yang bertahan lama di dunia ini.
Ada orang yang meninggalkannya dalam buku, lagu, atau puisi.
Yang lain dalam teknologi, teori, dan penemuan.
Namun, warisan terpenting?
Adalah yang kita tinggalkan di tangan generasi berikutnya.
Seperti yang pernah dikatakan Aristoteles:
“Anak-anak adalah warisan yang kita tinggalkan
untuk masa yang tak akan kita lihat.”
Jadi, apa yang akan kita wariskan untuk mereka?
Jejak apa yang akan kita tinggalkan?
Ada sebuah ungkapan,
“Kita tidak mewarisi bumi dari leluhur kita; melainkan
kita meminjamnya dari anak-anak kita.”
Meminjam.
Kata yang menunjukkan arti sementara,
tetapi membawa tanggung jawab yang besar.
Kita adalah penjaga bumi ini,
dan sebagaimana kita meminjam, kita harus mengembalikannya,
lebih baik dari saat kita menemukannya.
Kita membersihkan rumah kita,
melindungi keluarga kita—
mengapa kita tidak melakukan hal yang sama untuk bumi?
Saya teringat pada suatu masa yang lain—
malam ketika langit begitu gelap,
dan bintang-bintang tampak seperti debu yang tersebar
di atas kanvas yang tak berujung.
Itu adalah malam yang membuat kita merasa
kecil di tengah kebesaran alam semesta ini.
Namun anehnya, justru pada saat itu,
saya merasa terhubung,
bukan hanya dengan bumi di bawah kaki saya,
tetapi dengan setiap orang yang pernah menatap ke atas
dan bertanya-tanya, apa tempat mereka di alam semesta ini.
Mungkin itulah kuncinya:
mengingat bahwa kita tidak sendiri.
Bahwa kita terikat oleh cerita yang kita bagikan,
tindakan yang kita ambil,
warisan yang kita bangun.
Jadi, saya ingin bertanya kepada Anda:
Apa cerita Anda?
Karena setiap suara bisa membawa perubahan,
dan setiap tangan bisa memperbaiki bumi.
Jika kita mengumpulkan cerita-cerita kita,
jika kita berdiri berdampingan,
mungkin kita akan menemukan
bahwa langit mendengar,
bahwa bumi ini siap,
siap untuk menumbuhkan sesuatu yang baru.
Kita adalah sang pemimpi,
penanam benih.
Dan setiap kali kita melangkah maju,
setiap kali kita memilih untuk bertindak daripada berdiam diri,
kita membawa dunia sedikit lebih dekat
kepada dunia yang kita impikan.
Jadi, ke mana kita pergi dari sini?
Kita pergi bersama-sama.
Kita mulai dari hal-hal kecil—
lewat percakapan, cerita, maupun tindakan.
Karena setiap tetes menambah sungai,
dan setiap cerita menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar.
Kita tidak perlu tahu semua jawabannya,
tetapi kita harus bersedia bertanya,
membayangkan kemungkinan,
dan bertindak dengan harapan,
bahkan ketika itu tampak terlalu besar,
terlalu jauh.
Kita sudah memulai—
dalam momen-momen kecil dan sederhana,
dalam pilihan yang kita buat setiap hari.
Bersama-sama, kita sedang membangun sesuatu.
Dan jika kita terus membuka telinga,
terus berbagi,
terus bertindak,
mungkin kita akan menemukan bahwa masa depan yang kita impikan
tidaklah sejauh yang kita pikirkan.
Semuanya dimulai seperti ini—
Bukan dengan satu suara,
tetapi dengan kita semua,
bersama-sama.