Era transisi energi di Indonesia dimulai lebih dari satu dekade yang lalu, ketika Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) didirikan pada tahun 2010 sebagai lembaga resmi pemerintah yang didedikasikan untuk melakukan transformasi energi. Namun, pengembangan energi terbarukan masih jauh dari tujuan ambisius nasional. Indonesia menargetkan untuk melistriki negara dengan sumber energi bersih hingga 23% pada tahun 2025, menurut PP 79/2014. Namun, kenyataannya, pangsa energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 13% di tahun 2024, atau hanya setengah dari target satu dekade (Kementerian ESDM, 2024). Meningkatkan sisa target dalam waktu satu tahun, seperti yang telah ditetapkan pada tahun 2025, tampaknya terlalu ambisius. Bahkan, target tersebut direncanakan untuk direvisi dan diturunkan menjadi sekitar 17-18% dalam rancangan kebijakan energi nasional (KEN) yang baru di tahun 2024, alih-alih meningkatkan pengembangan energi bersih (METI, 2024). Akibatnya, hal ini menimbulkan pertanyaan: apa yang telah menghambat pencapaian target tersebut?
Di antara beberapa alasan yang mungkin ada, Presiden Joko Widodo menyoroti bahwa pembiayaan dan investasi dalam pengembangan energi terbarukan merupakan salah satu rintangan utama di Indonesia (Kementerian Sekretariat Negara, 2022), mengingat sumber utama pembiayaan energi terbarukan di Indonesia berasal dari dana publik. Kebutuhan pembiayaan yang besar untuk transisi energi bukan lagi hal yang baru, dan mengandalkan investasi publik yang terbatas untuk membiayai transisi bukanlah solusi yang tepat untuk negara berkembang seperti Indonesia. Saat ini, Indonesia membutuhkan sekitar USD 30-40 miliar untuk mencapai transisi energi pada tahun 2050 (IETO, 2023), tetapi kurang dari USD 2 miliar telah dialokasikan setiap tahunnya untuk pengembangan energi bersih di Indonesia selama lima tahun terakhir (Kementerian ESDM, 2024). Oleh karena itu, membuka jalan bagi pembiayaan swasta sebagai sumber dana alternatif sangat dibutuhkan untuk memenuhi target transisi energi nasional.
Pembiayaan swasta memainkan peran kunci sebagai sumber modal yang potensial untuk membiayai kebutuhan transisi energi (GFANZ, 2023). Namun, terlepas dari potensinya, pembiayaan swasta untuk energi terbarukan masih rendah di Indonesia. Data dari 10 bank terbesar di Indonesia selama enam tahun terakhir menunjukkan bahwa hanya 584 ribu dolar AS, atau 5% dari total investasi sektor energi, yang dimobilisasi untuk pengembangan energi bersih, sementara sisanya digunakan untuk energi bertenaga bahan bakar fosil (Katadata, 2023). Hal ini mengindikasikan bahwa investasi di sektor energi bersih di Indonesia masih kurang menarik bagi investor swasta dibandingkan dengan sektor energi beremisi tinggi.
Situasi ini dapat dimaklumi, mengingat tingginya hambatan masuk bagi investor swasta karena risiko regulasi (IETO, 2023). Peraturan dan kebijakan yang tidak konsisten dianggap sebagai risiko yang lebih tinggi, yang menghambat investor swasta untuk terlibat dalam investasi energi bersih di Indonesia (EY, 2023). Oleh karena itu, mengurangi hambatan-hambatan ini akan meningkatkan lingkungan bisnis industri energi terbarukan dan meningkatkan daya tariknya bagi investor swasta. Jadi, apa yang harus dilakukan untuk menarik pembiayaan swasta agar terlibat dalam pembiayaan transisi energi di Indonesia?
Pertama, sangat penting untuk menyediakan kerangka kerja regulasi yang jelas dan konsisten untuk pengembangan energi terbarukan untuk memastikan kepastian regulasi. Hal ini penting karena memberikan panduan dan jaminan bagi investor swasta dalam bentuk legalitas dalam mengarahkan investasi mereka di sektor energi terbarukan (KESDM, 2021). Investasi di sektor ini tergolong jangka panjang, karena pengembangan proyek energi terbarukan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Oleh karena itu, perubahan ketentuan industri yang terjadi secara berkala menyebabkan risiko investasi yang tinggi.
Kedua, membuka akses pembiayaan swasta untuk lebih banyak aliran pembiayaan swasta melalui pembiayaan campuran sangatlah penting. Pembiayaan campuran adalah penggunaan strategis pembiayaan pembangunan yang disediakan oleh sumber-sumber internasional, seperti bank pembangunan multilateral, untuk menarik investor swasta, karena dapat bertindak sebagai mekanisme penghilangan risiko untuk investasi proyek energi terbarukan (Grantham Research Institute, 2022). Dalam praktiknya, memadukan modal publik dan swasta dapat menurunkan risiko investasi bagi investor swasta dan membuatnya lebih menarik untuk terlibat.
Oleh karena itu, menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif melalui pemberlakuan peraturan yang tepat dan mobilisasi pembiayaan campuran sangat penting untuk menarik investasi swasta ke dalam sektor energi terbarukan, sehingga Indonesia dapat mencapai target energi bersihnya di tahun 2025.