Seiring dengan semakin dekatnya peringatan 10 tahun Persetujuan Paris, urgensi untuk aksi iklim yang lebih ambisius semakin meningkat karena Global Stocktake pertama mengungkap kenyataan pahit: dunia masih belum mencapai target untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C (UNFCCC, 2024). Bertepatan dengan itu, Februari 2025 menandai tenggat waktu bagi negara-negara untuk menyerahkan pembaruan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) untuk 5 tahun ke depan, sebagaimana diamanatkan dalam Persetujuan Paris (UNFCCC, 2024). Bagi Indonesia, negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim sekaligus pemain global yang penting, momen ini merupakan peluang penting untuk meningkatkan komitmen iklim dan meningkatkan kinerja iklimnya.
Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menyusun dokumen NDC kedua. Pada bulan Agustus 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan sesi komunikasi publik untuk mendorong kolaborasi dengan kementerian, pemangku kepentingan, dan masyarakat sipil, dengan menyampaikan rancangan SNDC dan mengundang masukan. Rancangan ini disusun berdasarkan Enhanced NDC (ENDC) Indonesia yang diajukan pada tahun 2022, yang memperbarui target dan strategi agar selaras dengan ambisi global untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C (KLHK, 2024). Indonesia seharusnya mengajukan SNDC pada bulan Agustus, setelah konsultasi publik (KLHK, 2024). Namun, pada tanggal 15 November 2024, selama COP29 di Baku, Indonesia secara resmi mengumumkan niatnya untuk mengajukan SNDC pada bulan Februari 2025 (ANTARA, 2024).
Draf SNDC sendiri telah menghasilkan reaksi beragam di antara para pengamat. Menurut Climate Action Tracker, meskipun target yang diusulkan menunjukkan peningkatan yang sederhana, tantangan yang signifikan tetap ada. Perkembangan positif mencakup perluasan cakupan gas rumah kaca, penyertaan hidrofluorokarbon (HFC), dimasukkannya sub bab “transisi yang adil” dan peralihan dari garis dasar Business-as-Usual ke tahun referensi 2019. Namun, ketergantungan Indonesia yang besar pada sektor kehutanan dan tata guna lahan (FOLU) untuk memenuhi target serapan bersih yang ambisius pada tahun 2030, tindakan jangka pendek yang terbatas sebelum tahun 2030 dan kurangnya peta jalan yang jelas untuk menghentikan penggunaan batu bara menimbulkan kekhawatiran (CAT, 2024).
Sejumlah laporan terkini juga mengevaluasi kinerja iklim Indonesia di tahun ini. Emissions Gap Report UNEP memperingatkan bahwa Indonesia tidak mungkin memenuhi target iklim 2030 tanpa perbaikan kebijakan yang signifikan dan tindakan yang dipercepat. Tantangan di sektor energi dan tata guna lahan tetap ada, dengan pembangkit listrik tenaga batu bara di luar jaringan (captive) dan revisi baseline LULUCF yang berkontribusi pada emisi yang lebih tinggi (UNEP, 2024). Demikian pula, Indeks Kinerja Perubahan Iklim (IKPI) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-42 pada tahun 2024, yang memberinya peringkat keseluruhan yang rendah. Meskipun ada kebijakan seperti Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) dan target energi terbarukan, ketergantungan Indonesia yang berkelanjutan pada batu bara dan bahan bakar fosil mencegah keselarasan dengan tujuan Persetujuan Paris (CCPI, 2024).
Rencana untuk menghentikan fasilitas seperti PLTU Cirebon-1 telah mengalami penundaan karena kendala hukum, keuangan, dan politik. Tingginya biaya penghentian dini dan kekhawatiran atas keamanan energi merupakan kendala substansial. Masalah ini diperburuk oleh sedikitnya pencairan dana USD 20 miliar yang dijanjikan dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mendukung transisi Indonesia dari batu bara (Reuters, 2024).
Namun, perkembangan terkini menunjukkan beberapa kemajuan. Pada bulan September 2024, Asian Development Bank (ADB) menyetujui pinjaman berbasis kebijakan sebesar USD 500 juta untuk membantu Indonesia mempercepat peralihannya menuju energi berkelanjutan dan bersih (Reuters, 2024). Selain itu, pada pertemuan puncak G20 pada bulan November 2024, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan komitmennya untuk menghentikan semua pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan fosil dalam 15 tahun ke depan. Strategi tersebut mencakup pembangunan lebih dari 75 gigawatt kapasitas energi terbarukan selama periode ini, dengan tujuan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, sepuluh tahun lebih awal dari target sebelumnya (AP, 2024).
SNDC Indonesia yang diperbarui dan aksi iklim yang lebih luas mencerminkan narasi ganda tentang kemajuan dan tantangan yang terus berlanjut. Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai dalam mengamankan dukungan finansial dan dalam retorika iklim dari orang nomor 1 di negara ini, kemampuan Indonesia untuk menyelaraskan kebijakannya serta SNDC-nya dengan jalur global 1,5°C dalam beberapa bulan mendatang akan menunjukkan komitmennya terhadap Perjanjian Paris.