Sistem kelistrikan Jawa-Bali kembali semaput menjelang tutup bulan Februari lalu. Krisis listrik yang dipicu menipisnya pasokan listrik pada sejumlah PLTU PT PLN (Persero) akibat sulitnya kapal tongkang merapat ke dermaga akibat gelombang tinggi di perairan laut. Namun, respons dari pejabat PLN mencuat, cuacalah yang menjadi biang keladinya.Sebuah kenyataan, struktur dan manajerial manajemen di negeri ini, khususnya di sektor ketenagalistrikan berada pada titik nadir. Listrik sebagai komoditas yang tidak lagi murah seiring melonjaknya harga minyak mentah dan ikut menggerek harga batu bara dan gas sebagai bahan baku bagi pembangkitan listrik.
Sejak semester keempat 2003, PLN tidak menaikkan tarif dasar listrik, maklum kala itu harga minyak mentah masih pada 30-40 dolar AS per barel. Namun, saat ini dengan harga sudah naik berlipat-lipat, bahkan dalam satu-dua hari saat ini melewati 100 dolar AS per barel membuat harga jual energi sedemikian mahalnya.
Sistem penggunaan energi pada pembangkitan milik PLN pun hingga kini belum banyak berubah dalam kurun 10 tahun terakhir. Kendati, diakui, penggunaan energi seperti gas dan batu bara mulai ditingkatkan, namun komposisi penggunaan energi fosil masih mendominasi untuk mengoperasikan sebuah pembangkit.
Alhasil, biaya energi yang dihasilkan PLN pun tetap jauh lebih mahal, ketimbang harga jual listriknya. Sementara rata-rata pertumbuhan listrik nasional selama sepuluh tahun terakhir, minimnya realisasi investasi pembangkitan bertenaga besar yang secara massif mampu mengantisipasi kebutuhan listrik tersebut dalam jangka panjang.
Manajemen PLN pun senantiasa kedodoran mengatur suplai ketenagalistrikannya, di saat konsumsi listrik terus meningkat. Apalagi, saat waktu beban puncak, mengatur pengalihan opsi energi sedemikian kompleks persoalan teknis. Tidak pelak, kondisi kritis pada sistem kelistrikan Jawa-Bali tinggal menunggu waktu saja.
Defisit Listrik
Seperti halnya, krisis kelistrikan baru-baru ini, defisit listrik sempat mencapai 1.300 megawatt (MW), dari kapasitas daya listrik PLN sebesar 18.000 MW. Semula, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menyatakan persoalaan ini terjadi karena menipisnya pasokan batu bara pada sejumlah PLTU PLN yang diakibatkan sulitnya kapal-kapal tongkang menepi di dermaga sehubungan badai tropis di selatan Bali.
Meski Purnomo tidak menampik kondisi tersebut diperparah manajemen pasokan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PLN, semestinya di tiap satu PLTU harus mampu menyimpan pasokan hingga satu bulan. Namun, faktanya, ada PLTU yang dimiliki PLN hanya stok 6-7 hari saja.
Sumber Bali Post di lingkungan pemerintah berpendapat, kesulitan masalah yang dihadapi PLN juga disebabkan monopoli tata niaga distribusi pengiriman batu bara yang cenderung oligopolistik. Situasi itu memojokkan PLN sebagai pihak yang berkepentingan, tak pelak kerap kali mengeluarkan ongkos lebih mahal. Kalaupun sudah memperoleh kepastian kapal angkutnya, PLN harus rela mengantre terlebih dahulu.
Namun, asumsi seperti ini ditepis Purnomo. Meski diakui kapal yang mampu pengangkut batu bara terbilang sedikit, hanya tujuh buah. Tak pelak, keleluasaan mencari kapal pun terbatas. Namun, Plh. Direktur Pembangkitan dan Energi Primer PLN Fahmi Mochtar mengatakan, hal itu tidak terlepas dari penerapan asas cabotage dalam hukum pelayaran nasional. Artinya, hanya kapal berbendera Indonesialah yang diperbolehkan mengangkut komoditas strategis di perairan Indonesia.
Tentu saja, Menhub Jusman Syafii Djamal membantah tegas hal itu. Hingga kini belum pernah dari manajemen PLN melakukan koordinasi terhadap masalah pengangkutan batu bara. Mengetahui arus lalu lintas pengiriman batu bara yang semakin padat, Jusman justru memberi resep kepada perusahaan setrum negara ini, agar melakukan negosiasi kontrak jangka panjang dengan operator. Dengan demikian, PLN memiliki jaminan pengantaran pasokan batu bara. Selain itu, tipe kapal bukanlah tongkang, tetapi bulk yang lebih aman menghadapi terpaan gelombang tinggi.
Tidak Mampu
Sebetulnya, persoalannya tidak berhenti di situ. Sekretaris Meneg BUMN Said Didu mengakui manajemen PLN sudah tidak mampu membeli harga batu bara yang saat ini sudah melonjak 130 dolar AS/ton, dibandingkan awal tahun lalu baru sebesar 89 dolar AS/ton. Apalagi batu bara yang diadopsi satu pembangkit dengan pembangkit listrik PLN, jenisnya belum tentu sama.
Karena itu, dia berharap, diperlukan kebijakan krusial guna mengatasi persoalan pasokan listrik ke depan, apakah hal itu kenaikan tarif ataukah menambah subsidi bagi PLN. Pilihan yang sama-sama tidak mengenakan, namun hal tersebut harus ditempuh guna menjamin keberlangsungan listrik pada sistem Jawa-Bali.
Atas hal ini, Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Reform (IESR), mengatakan krisis listrik Jawa-Bali yang kerap kali terjadi menunjukkan gagalnya pemerintah dan PLN menjamin pasokan energi dan penyediaan tenaga listrik kepada seluruh pelanggan. Buruknya koordinasi antarinstansi pemerintah menunjukkan kesalahan akut dalam pengelolaan energi di Tanah Air.
Apabila di atas kertas, atau dalam kontraknya, produsen batu bara diharuskan menyisihkan hasilnya bagi kepentingan pasar dalam negeri, namun kenyataannya PLN kesulitan memperoleh pasokan batu bara. Nampaknya, kontraktror lebih menyukai mengeskspor dengan pertimbangan harganya jauh lebih mahal ketimbang domestik.
Sampai-sampai Menperind Fahmi Idris berkeinginan diterapkannya Domestic Market Obligation (DMO) minimal 30 persen pasokan batu bara untuk domestik, guna mengamankan pasokan energi nasional yang menjamin keberlangsungan industri nasional. Tanpa itu, krisis listrik terus mengintai pada sistem kelistrikan Jawa-Bali di waktu mendatang.
Karenanya, belum berbicara program percepatan proyek PLTU 10 ribu MW, yang akan dioperasikan bertahap pada 2009 atau 2010 mendatang. Jangan-jangan, hanya bangunan pembangkitan listrik yang berdiri tegap dan megah. Namun, sunyi tanpa kegiatan operasi karena kesulitan memperoleh bahan baku energi. * indu p. adi