IESR-Publikasi-Cover-small

Copenhagen Accord?

Litfiyah Hanim – Setelah dua tahun sejak Bali Action Plan yang dihasilkan dalam Konferensi Para Pihak ke-13 untuk Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (the 13 Conference of the Parties to United Nations Framework Convention on Climate Change – COP13 UNFCCC) di Bali pada Desember 2007, telah banyak dilakukan berbagai konferensi formal dan informal di berbagai kota untuk mengatasi perubahan iklim melalui kerjasama dan aksi global. Pada 7 – 19 Desember 2009, Konferensi Perubahan Iklim (COP ke 15) di Kopenhagen diharapkan dapat mencapai kulminasi.

Konferensi yang dihadiri sekitar 115 kepala negara dan pemerintah, dan lebih dari 40 ribu orang telah mengajukan aplikasi sebagai delegasi dari kelompok pemerintah, maupun pengamat dari berbagai kelompok non pemerintah dan wartawan, akhirnya menghasilkan Copenhagen Accord. Capaian ini setelah melewati berbagai kontroversi dan nampaknya akan terus menimbulkan perdebatan.

Copenhagen Accord (CA) yang panjangnya tiga halaman terdiri atas 11 butir pernyataan, yang dilengkapi dengan 2 lampiran (appendix), yaitu lampiran satu berupa tabel berjudul Quantified economy-wide emission targets for 2020 dan lampiran dua berjudul Nationnally appropriate mitigation actions of developing country parties. Dokumen tersebut bisa diunduh di website resmi UNFCCC http://unfccc.int/2860.php.

CA mengawali dokumennya dengan kata “conference of the parties takes note”. Martin Khor, Direktur Sounth Centre yang menulis analisa untuk harian online SUNS pada 22 Desember 2009, mengatakan bahwa dalam bahasa di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kata “taking note” memberikan status bahwa dokumen tersebut lemah untuk dijadikan rujukan. Artinya dokumen tersebut juga ‘tidak disepakati’ secara bulat, karena kalau telah menjadi kesepakatan, maka pilihan katanya adalah “adopts” atau “adopsi”.

Kata “taking note” juga tidak dilihat sebagai sesuatu yang positif, jika ini yang menjadi pilihan katanya adalah kata “welcomes“, ini lebih tepat. Namun kata “taking notes” juga tidak diartikan sebagai kata yang negatif, dalam kasus ini mungkin akan digunakan kata misalnya “rejects” atau “disapproves” .

Keputusan yang diawali dengan “takes note” dicapai setelah berbulan-bulan melakukan perundingan, dapat dianggap untuk menyelamatkan dari kegagalan total dari konferensi terbesar yang pernah diadakan di luar kantor besar PBB di New York.

Dalam pertemuan dengan wartawan setelah konferensi, Yvo de Boer, Sekretaris Eksekutif UNFCCC mengatakan bahwa CA merupakan elemen yang penting, tetapi ini tidak mengikat secara hukum. Dia menyebut bahwa CA “secara politik penting” karena memperlihatkan keinginan untuk maju ke depan.

Dalam poin pertamanya, CA menyebutkan bahwa negara-negara para pihak menggarisbawahi perubahan iklim sebagai tantangan terbesar saat ini. Dan juga menyebutkan, negara-negara para pihak mengakui pandangan ilmiah bahwa kenaikan suhu haruslah di bawah 2 derajat celcius. Negara-negara para pihak setuju untuk memotong emisi global secara tajam seperti yang disyaratkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change(IPCC) dengan dasar keadilan.

Para pihak juga setuju agar negara-negara maju memberikan dukungan sumberdaya keuangan, teknologi dan peningkatan kapasitas untuk mendukung implementasi adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

Dalam poin ke-4, disebutkan bahwa negara Annex 1 (negara-negara maju yang diwajibkan untuk memotong emisinya dalam Protokol Kyoto) berkomitmen secara individual maupun secara bersama dalam target emisi pada tahun 2020, dan akan menyerahkan format yang diberikan pada lampiran 1 dalam dokumen CA, paling lambat 31 Januari 2010.

Dokumen CA ini tidak menyebutkan secara detail nilai atau angka penurunan emisi yang harus dilakukan oleh negara-negara maju setelah 2012, baik itu secara individual atau secara menyeluruh. Ketiadaan nilai penurunan emisi inilah menurut Martin Khor sebagai kegagalan terbesar dari dokumen ini dan juga konferensi ini secara keseluruhan.

Ini juga menjadi kegagalan dalam kepemimpinan negara-negara maju yang bertanggung jawab dalam emisi gas rumah kaca di atmosfir, untuk berkomitmen menentukan target.

Sementara negara-negara berkembang telah meminta negara-negara maju untuk mengurangi lebih dari 40 persen emisinya pada tahun 2020, dari emisi pada tahun 1990. Ada pernyataan di CA bahwa pada level nasional negara-negara maju akan menyerahkan komitmennya pada sekretariat UNFCC pada 31 Januari 2010. Ini menjadi sulit dipercaya, bahwa batas waktu tersebut akan tercapai, mengingat sejauh ini, di tingkat nasional, rata-rata komitmen negara maju untuk mengurangi emisinya hanya sekitar 13-19 persen secara menyeluruh.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa capaian pada Copenhagen Accord mengecewakan. Ini karena tidak mengikat dan tidak sesuai dengan harapan-harapan yang telah tercantum dalam Bali Road Map. Fabby mengatakan bahwa jika para pihak sepakat kenaikan suhu bumi dibatasi maksimal 2 derajat pada tahun 2020, maka perlu ada target kongkrit apa yang harus dicapai dan dilakukan, misalnya dalam 5 tahun depan. Dan dalam isu perubahan iklim, semua negara harus ikut, sehingga diperlukan agenda dan kesepakatan global yang mengikat.

http://www.beritabumi.or.id.