Oleh: Fabby Tumiwa –
Tarif dasar listrik atau TDL pun bulan ini dinaikkan. Kenaikan ini sesungguhnya hanya mengurangi subsidi Rp 4,8 triliun. Walaupun demikian, kontroversi pasca-kebijakan ini diambil terus merebak.
Asosiasi Pengusaha Indonesia menuding, kenaikan melebihi 10 persen sebagaimana hasil kesepakatan eksekutif dan DPR. HIPMI mengkhawatirkan, TDL baru dapat menurunkan daya saing industri kecil menengah (Kompas, 1/7/2010). Reforminer Institute memprediksi, kenaikan TDL sebesar 10 persen dapat mengurangi permintaan tenaga kerja industri sebesar 1,17 persen (Jakarta Post, 29/6/2010).
Kenaikan TDL, adalah akibat salah kelola sumber daya energi di Negara ini. Tingginya biaya produksi listrik yang diperkirakan sebesar Rp 1.100 per kilo-watt-jam, diakibatkan bauran energi primer yang tidak optimal. Biaya pembelian BBM menyumbang 60-65 persen total biaya bahan bakar PLN. Padahal, listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit dengan BBM hanya 20 persen dari seluruh listrik. Seluruh kebutuhan energi primer harus dibeli oleh PLN dengan harga pasar. Pasokan gas alam yang tersedia hanya setengah total kebutuhan PLN. Oleh karena itu, supaya listrik tetap menyala, BBM dibakar menggantikan gas. Akibatnya, biaya pembangkitan melonjak tinggi.
Ironisnya gas alam yang merupakan aset strategis justru dijual murah ke Negara lain. Gas alam asal Tangguh yang dijual ke China, misalnya. Pemerintah telah diingatkan oleh sejumlah pihak jauh-jauh hari bahwa jika potensi gas Tangguh dimanfaatkan untuk kepentingan industri dan pembangkit listrik domestic, akan memberikan nilai tambah yang lebih besar ketimbang manfaat finansial menjual sumber daya alam mentah ke Negara lain.
Distorsi Ekonomi
Kegagalan mengatur alokasi sumber daya energi dan kebijakan harga energi yang tepat harus dibayar dengan mahalnya ongkos produksi listrik, yang ujungnya harus disubsidi besar-besaran. Subsidi telah menciptakan distorsi ekonomi, memperlemah daya saing industri, meningkatkan beban utang pemerintah dan mengakibatkan pergeseran prioritas anggaran yang semestinya dapat dimaksimalkan guna mengatasi kemiskinan dan pembangunan infrastruktur dasar untuk mencapai pertumbungan ekonomi.
Masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pasca-kenaikan TDL. Selain pembenahan kebijakan dan manajemen sumber daya energi untuk menjamin keamanan pasokan energi, PR yang juga perlu diselesaikan oleh pemerintah adalah reformasi subsidi listrik. Reformasi subsidi listrik harus diarahkan untuk menjamin akses rakyat miskin mendapatkan tenaga listrik sesuai kebutuhan layak, meningkatkan daya saing industri kecil dan menengah, mendorong upaya konservasi energi listrik, serta memberikan ruang bagi pemanfaatan anggaran bagi pembangunan infrastruktur kelistrikan untuk memberikan akses bagi 19 juta rumah tangga yang belum memperoleh listrik.
Perlu disadari, reformasi subsidi listrik bisa mengakibatkan penyesuaian tariff listrik untuk golongan pelanggan tertentu. Walaupun demikian, jika kebutuhan gas alam untuk pembangkit dapat terpenuhi, dengan komposisi bauran energi yang optimal, biaya produksi listrik dapat turun hingga Rp 800-an per kilowatt-jam sehingga beban subsidi dikurangi dan penyesuaian tariff dapat diminimalkan.
PR lainnya yang perlu dikerjakan adalah pembangunan pembangkit, transmisi, dan distribusi. Dalam satu dekade terakhir, pembangunan pembangkit listrik jauh di bawah tingkat pertumbungan yang sesungguhnya. Pertumbuhan penjualan tenaga listrik PLN selama tujuh tahun terakhir 6,3 persen per tahun karena terbatasnya ketersediaan pasokan daya listrik. Idealnya, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun, permintaan listrik tumbuh di atas 8 persen.
Dampaknya adalah gejala deindustrialisasi berupa stagnasi pertumbuhan pelanggan industri, serta pertumbuhan konsumsi listrik untuk sektor industri tujuh tahun terakhir dan sektor bisnis empat tahun terakhir. Kenaikan beban puncak yang rata-rata 10 persen per tahun di sumbang oleh konsumsi listrik rumah tangga yang rata-rata pertumbuhan pelanggannya mencapai 1 juta per tahun.
Kegagalan program percepatan pembangunan pembangkit listrik batu bara tahap pertama yang diinisiasi pada tahun 2006, serta mundurnya implementasi proyek listrik swasta (IPP) bisa mengakibatkan krisis listrik dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Pada tahun 2007-2008, penambahan pembangkit listrik pada sistem Jawa-Bali hanya 170 MW. Jumlah ini hanya sepersepuluh penambahan kapasitas pembangkit yang ideal. Ketidakjelasan pelaksanaan proyek percepatan pembangkit listrik tahap kedua juga bisa mengakibatkan krisis listrik akut tahun 2015.
Opini ini telah diterbitkan harian kompas, Rabu, 14 Juli 2010, halaman 6.