Oleh: Fabby Tumiwa –
Tarif Dasar Listrik (TDL) telah dinaikan 1 Juli tetapi kisruh atas kebijakan yang disepakati oleh eksekutif dan DPR tersebut tetap berlanjut. Yang paling lantang berasal dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dengan dalih kenaikan tarif yang diatur oleh Peraturan Menteri ESDM Nomor 7/2010, jauh melebihi besaran10 persen.
Bisa dimaklumi kalau para pengusaha meradang karena simulasi perhitungan mereka menunjukkan kenaikan TDL rata-rata 40-45 persen diatas tarif yang mereka bayar sebelumnya.Kisruh paska kebijakan kenaikan TDL diambil patut disayangkan karena wacananya kenaikan sudah berkembang cukup lama. Adapun pembahasan antara eksekutif dan DPR pun sejatinya telah dilakukan sejak awal tahun. Seharusnya segala pertimbangan, analisa dan simulasi telah dilakukan jauh hari sebelum keputusan dibuat. Dampak ekonomi dan non ekonomi selayaknya menjadi pertimbangan dalam memutuskan kenaikan tarif untuk setiap golongan. Kejadian ini mengindikasikan inkompetensi pemerintah dalam membuat kebijakan publik yang berdampak luas kepada ekonomi, rendahnya kemampuan mengkomunikasikan kebijakan serta mandulnya mekanisme tanggung gugat (compliance) untuk menguji kebijakan publik.
Penetapan TDL didasarkan oleh berbagai asumsi dan tahapan. PLN mengusulkan biaya pokok produksinya yang perhitungannya berdasarkan komposisi dan volume bauran energi primer, harga bahan bakar, dan biaya-biaya lainnya pada tahun tersebut. Dari sini dapat dihitung berapa besar konsumsi bahan bakar minyak yang akan dibakar oleh pembangkit PLN dan berapa biayanya. Setelah itu, estimasi pendapatan PLN dari berbagai golongan pelanggan akan dihitung. Selisih antara biaya produksi total dengan pendapatan seharusnya dihitung sebagai subsidi listrik.
Faktanya, keputusan akhir subsidi sangat bergantung pada kesepakatan politik. Biasanya pemerintah dan DPR tidak serta merta menerima asumsi biaya pokok produksi listrik yang diajukan oleh PLN. Pembahasan mengenai efisiensi, target losses, komposisi energi primer, termasuk persetujuan volume BBM yang dibakar menjadi pembahasan yang penting dalam sidang-sidang di Komisi VII DPR, sebelum akhirnya dicapai kesepakatan besaran biaya pokok produksi dan nominal subsidi. Kesepakatan ini juga meliputi target-target lainnya yang disepakati eksekutif dan DPR.
Kondisi ini menjadikan besaran TDL tidak murni didasarkan faktor biaya, tetapi lebih mencerminkan kesepakatan politis dan berbagai persyaratan sebagai kondisi persetujuan, yang secara teknis tidak mudah ditranslasikan kedalam praktek yang riil pengusahaan tenaga listrik. Contohnya, target penurunan rugi-rugi sistem (losses), bisa dicapai secara teknis dan non-teknis. Untuk tindakan teknis menurunkan rugi-rugi sistem membutuhkan investasi ekstra pada transmisi dan distribusi. Apabila investasi tersebut tidak direncanakan atau dianggarakan, maka target tersebut pastinya tidak bakal tercapai.
Oleh karena itu tidak heran jika terjadi ketidaksesuaian (mismatch) antara biaya dan subsidi. Pendapatan PLN dari tarif, ditambah subsidi tidak sama dengan biaya produksi untuk setiap pelanggan, mengingat asumsi-asumsi teknis yang disepakati secara politik untuk menentukan besaran tarif dan subsidi, tidak dapat tercapai atau berubah seiring perjalanan waktu. Tidak heran, apabila dalam rangka mendongkrak pendapatan sekaligus menutupi biaya produksi listrik, PLN menggunakan instrumen lain, contohnya tarif DayaMax, dengan alasan agar pelanggan industri berhemat dalam penggunaan listriknya.
Keputusan menaikkan TDL rata-rata 10 persen, dan porsi kenaikan lebih besar bagi golongan industri dan bisnis sangat sarat dengan muatan kepentingan politik parpol. Dengan tarif lama, seluruh golongan pelanggan menerima subsidi dengan besaran yang bervariasi. Golongan pelanggan R-1 450 dan 900 VA menerima 45-48 persen uang subsidi, pelanggan industri I-3 dan I-4 menerima 30 persen, pelanggan B-I dan B-2 menikmati 9 persen alokasi subsidi. Adapun golongan I-1 dan I-2 hanya menikmati 2 persen uang subsidi, sisanya dibagi oleh pelanggan rumah tangga lain dan sosial.
Dengan demikian, penyesuaian TDL seharusnya menyertakan penyesuaian tarif listrik bagi pelanggan rumah tangga 450 dan 900 VA, yang jumlahnya mencapai 31 juta dan mengkonsumsi sekitar 45 persen energi listrik yang diproduksi. Sangat disayangkan, eksekutif dan DPR justru mempertahankan tarif untuk golongan ini, dengan alasan mereka adalah kelompok rumah tangga miskin atau kurang mampu. Berhubung besaran subsidi telah dipatok, untuk menghindari kenaikan subsidi listrik maka beban kenaikan TDL pun dilimpahkan kepada pelanggan lain.
Kebijakan ini memang kurang tepat karena berkaca dari negara lain, tarif listrik untuk industri biasanya dibuat lebih rendah dibandingkan dengan setrum untuk bisnis dan rumah tangga. Hal ini disebabkan listrik adalah komponen produksi barang dan jasa, selain biaya produksi listrik untuk industri relatif lebih rendah dibandingkan rumah tangga. Adapun listrik pada rumah tangga dipakai untuk kegiatan non-produktif yang tidak berdampak pada inflasi.
Politisasi kebijakan tarif listrik sangat berbahaya karena dapat menimbulkan distorsi ekonomi bahkan mengancam pasokan tenaga listrik di masa yang akan datang. Keputusan politik yang optimum tidak berarti paling optimal secara teknis dan ekonomis. Berangkat dari kisruh TDL yang saat ini terjadi, sudah selayaknya pemerintah mempertimbangkan pilihan untuk membentuk Public Utility Commission sebagai regulator yang bertugas mengawasi kinerja utilitas seperti PLN, mengawasi biaya produksi tenaga listrik, menetapkan patokan tarif yang layak berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis bukan politis, serta menjadi wadah untuk memproses keberatan pelanggan terhadap pelayanan dan tarif melalui mekanisme public hearing.
Peran DPR perlu kiranya dibatasi sebagai pembuat undang-undang, mengawasi kinerja eksekutif dan sebagaimana hak budget yang dimilikinya, menetapkan subsidi listrik sesuai dengan standar pelayanan dan biaya yang dibutuhkan oleh utilitas publik. Dengan begitu, tarif listrik mencerminkan biaya produksi yang paling efisien serta jaminan mutu pelayanan yang handal dan tidak ada alasan bagi PLN untuk mempertahankan kinerja buruk dan industri untuk menolak tarif listrik yang berlaku.
Telah diterbitkan oleh Koran Kontan, Senin, 19 Juli 2010.