Pengelolaan Emisi Produksi dan Antisipasi Limbah Baterai Kendaraan Listrik

Jakarta, 1 Maret 2025 – Sektor transportasi merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Mengutip studi IESR, sektor ini termasuk dalam tiga besar penghasil emisi CO2 tertinggi di negara ini. Dari total emisi transportasi, sekitar 90 persen berasal dari transportasi darat, dengan mobil penumpang sebagai kontributor terbesar, menyumbang sekitar 78 persen dari total emisi di sektor ini atau sekitar 106 juta ton CO2e per tahun. Hal ini diungkapkan Faris Adnan Padhilah, Koordinator Riset Permintaan Manajemen Energi, IESR dalam Webinar RECharge Empowering Youth in Renewable Energy and Electric Vehicles pada Sabtu (1/3/2025). 

“Setiap tahunnya sekitar 6 juta kendaraan terjual di Indonesia, dengan sepeda motor mendominasi lebih dari 90 persen pangsa pasar berdasarkan data International Energy Agency (IEA) pada tahun 2024. Sebagai salah satu produsen otomotif terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peran penting dalam transisi menuju kendaraan listrik,” tegas Faris. 

Namun demikian, lanjut Faris, terdapat beberapa tantangan dalam implementasi kendaraan listrik, meskipun kendaraan listrik dapat menjadi salah satu solusi untuk dekarbonisasi sektor transportasi. Tantangan tersebut di antaranya berkaitan dengan aspek emisi yang dihasilkan dari produksi listrik dan manufaktur kendaraan listrik itu sendiri.

“Sumber utama emisi kendaraan listrik berasal dari produksi listrik sebagai bahan bakar serta proses manufaktur. Produksi baterai listrik turut menambah emisi karbon, meskipun dalam porsi yang berbeda, sekitar 6 persen untuk mobil listrik dan 20 persen untuk sepeda motor listrik. Saat ini, ekosistem rantai pasokan baterai di Indonesia mencakup 357 perusahaan di sektor hulu, 6 perusahaan di sektor menengah, dan 42 perusahaan di sektor hilir,” ujar Faris. 

Selain itu, menurut Faris, ada tantangan besar lainnya terkait dampak lingkungan dari baterai bekas. Jika tidak dikelola dengan baik, baterai kendaraan listrik berpotensi menjadi limbah elektronik (e-waste) yang berbahaya. Diperkirakan pada tahun 2030, Indonesia akan memiliki sekitar 12 GWh potensi baterai bekas yang perlu dikelola dengan baik berdasarkan studi IESR berjudul Membangkitkan  Masa Depan – Penilaian Solusi Penyimpanan Energi dan Aplikasinya untuk Indonesia. Kasus limbah elektronik yang tidak terkontrol telah terjadi sebelumnya, seperti di Riau pada 2004 dan Bogor pada 2015, akibat limbah baterai timbal-asam yang mencemari lingkungan.

“Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki kerangka regulasi yang jelas untuk menangani limbah baterai kendaraan listrik. Tanpa regulasi yang ketat, potensi pencemaran lingkungan akibat e-waste bisa menjadi ancaman serius. Oleh karena itu, selain mempercepat adopsi kendaraan listrik sebagai solusi dekarbonisasi, Indonesia juga perlu memperhatikan pengelolaan limbah baterai agar tidak menjadi masalah lingkungan baru di masa depan,” papar Faris. 

Untuk mendukung transisi menuju transportasi rendah emisi, Faris menuturkan, berbagai langkah harus dilakukan, termasuk peningkatan energi bersih dalam pembangkit listrik, optimalisasi rantai pasokan baterai yang berkelanjutan, serta regulasi yang lebih ketat terkait pengelolaan limbah elektronik. Dengan strategi yang tepat, kendaraan listrik dapat menjadi solusi efektif dalam mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi tanpa menciptakan dampak lingkungan yang baru.

Share on :

Leave a comment