Surabaya, 16 April 2025 – Kota Surabaya, Jawa Timur, telah resmi memulai implementasi dekarbonisasi sektor bangunan gedung melalui proyek Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI). Proyek ini didanai oleh Pemerintah Jerman dan merupakan bagian dari kerja sama bilateral Indonesia-Jerman yang telah dimulai sejak 2023 dan akan berlangsung hingga 2028. Institute for Essential Services Reform (IESR) turut terlibat dalam proyek SETI. Melalui SETI, Surabaya diharapkan dapat menjadi kota percontohan transisi energi dan efisiensi di sektor bangunan gedung, mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, serta mengurangi jejak karbon yang dihasilkan oleh sektor ini.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna mengatakan, kolaborasi dengan proyek SETI merupakan bentuk dukungan konkret dari pemerintah pusat dan mitra pembangunan bagi pemerintah kota untuk mempercepat transisi energi di tingkat kota, terutama di sektor bangunan gedung.
Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia dengan potensi ekonomi yang sangat besar dan akan terus berkembang. Selain itu, Surabaya memiliki beberapa keunggulan, antara lain potensi penghematan energi yang besar, telah menerapkan sertifikasi bangunan hijau, potensi pertumbuhan sektor konstruksi yang tinggi, serta kapasitas dan kemampuan yang tinggi dari pemangku kepentingan lokal.
“Surabaya didorong menjadi kota percontohan transisi energi dan efisiensi di sektor bangunan Gedung dalam proyek SETI. Dengan harapan, pertumbuhan ekonominya bisa berjalan berdampingan dengan langkah-langkah dekarbonisasi dalam rangka menjadikan Kota Surabaya yang rendah karbon dan berkelanjutan,” ujar Feby dalam Kick-Off Implementasi Proyek SETI di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (16/4).
Direktur SUPD I Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Edison Siagian menegaskan, penyelenggaraan pemerintah di bidang energi di Indonesia melibatkan dua kementerian utama, yaitu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Kedua kementerian ini memiliki peran yang saling terkait namun berbeda dalam memastikan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya energi di daerah berjalan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang ada.
“Kami bertanggung jawab dalam pembinaan umum, yang meliputi pengawasan terhadap pembagian urusan, kelembagaan, keuangan daerah, serta pelayanan publik. Selain itu, kami juga mengawasi kebijakan umum yang berlaku di daerah dan memastikan implementasinya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, Kementerian ESDM memiliki peran yang lebih teknis dalam bidang energi,” tegas Edison.
Menurut Edison, mengacu Pasal 375 dan 377 UU 23/2014, tugas kementerian ESDM mencakup pembinaan dan pengawasan teknis terkait penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di daerah. Pembinaan teknis ini termasuk pengawasan terhadap unit pelayanan publik, pengelolaan proyek energi, serta pengembangan kebijakan terkait energi yang mendukung keberlanjutan sumber daya alam. Kementerian ESDM juga bertanggung jawab dalam mendukung transisi energi ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, sesuai dengan komitmen Indonesia dalam mencapai target-target nasional.
“Secara keseluruhan, koordinasi antara Kemendagri dan Kementerian ESDM sangat penting dalam menciptakan kebijakan energi yang efektif dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan energi di daerah. Kedua kementerian ini memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa sektor energi Indonesia dapat beradaptasi dengan perubahan zaman, berfokus pada keberlanjutan, dan mendukung pencapaian target nasional di sektor energi terbarukan,” papar Edison.
Sementara itu, Ikhsan, Sekretaris Daerah Kota Surabaya, menegaskan implementasi dekarbonisasi sektor bangunan merupakan bagian dari agenda berkelanjutan yang telah dijalankan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Misalnya penerapan efisiensi energi dan penggunaan material ramah lingkungan pada bangunan gedung, seperti Balai Kota Surabaya dan Terminal Intermoda Joyoboyo. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi jejak karbon di sektor bangunan yang merupakan salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca di perkotaan.
“Penataan ruang kota yang baik juga patut dilakukan untuk memastikan kebutuhan dan kenyamanan penghuni kota tetap tercapai.Untuk sosialisasi yang lebih masif kepada pelaku pembangunan dan masyarakat Kota Surabaya sangat diperlukan, agar mereka lebih memahami kebijakan tata ruang dan manfaat implementasi Bangunan Gedung Hijau. Partisipasi aktif dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah, pelaku pembangunan, hingga masyarakat, sangat krusial dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” kata Ikhsan.
Johannes Anhorn, Koordinator Konsorsium Proyek SETI, menyatakan bahwa saat ini merupakan waktu yang tepat untuk memulai proyek ini di Surabaya, terlebih dengan adanya pemerintahan yang baru. Proyek ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam upaya dekarbonisasi dan peningkatan efisiensi energi di sektor bangunan.
“Pemkot Surabaya akan menerima dukungan teknis, studi perencanaan, pengembangan kapasitas, serta partisipasi dalam jaringan energi perkotaan melalui proyek SETI ini. Dengan dukungan ini, diharapkan Surabaya dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain dalam menjalankan transisi energi menuju keberlanjutan yang lebih baik,” tegas Johannes.