Langkah Indonesia Menuju Hidrogen Hijau untuk Dekarbonisasi

Jakarta, 17 April 2025 – Pemanfaatan hidrogen hijau yang minim emisi menjadi cara untuk memitigasi krisis iklim. Pemerintah perlu membangun ekosistem hidrogen hijau yang mendorong penurunan biaya dan peningkatan permintaan dari sektor yang sulit dielektrifikasi seperti industri, hingga transportasi.

Irawan Asaad, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup mengatakan, sebagai bagian dari komitmen internasional, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris. Sektor energi memainkan peran besar dalam upaya ini, dengan target pengurangan emisi yang signifikan, termasuk penggunaan energi terbarukan dan teknologi rendah karbon. Namun, hidrogen belum sepenuhnya dimasukkan dalam strategi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia meskipun memiliki potensi besar untuk pengurangan emisi.

“Indonesia juga berfokus pada efisiensi energi, pengembangan energi terbarukan, dan penggunaan bahan bakar rendah karbon untuk mengurangi emisi. Selain sektor energi, sektor transportasi dan industri, termasuk kendaraan listrik dan bangunan hijau, juga menjadi bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim. Untuk mencapai target ini, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lainnya sangat penting,” tegas Irawan dalam acara Global Hydrogen Ecosystem 2025 yang turut disponsori Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan dukungan Pemerintah Inggris melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI),  pada Rabu (16/4). 

Sementara itu, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan, penurunan biaya hidrogen hijau dapat dicapai melalui dua faktor utama yaitu penurunan biaya listrik terbarukan dan penurunan biaya elektrolisis. Analisis IESR menunjukkan bahwa biaya produksi hidrogen hijau di Indonesia, terutama yang berasal dari tenaga surya, diperkirakan akan terus menurun dan bisa mencapai USD 2 per kilogram pada tahun 2040. Untuk mencapai target ini, Indonesia perlu menangani faktor-faktor biaya utama melalui langkah-langkah yang terkoordinasi.

“Pemerintah Indonesia perlu mengimplementasikan kebijakan yang dapat menurunkan biaya produksi hidrogen hijau melalui kebijakan di sisi pasokan dan permintaan. Misalnya penerapan kebijakan kredit pajak seperti yang dilakukan Amerika Serikat, yang menawarkan insentif hingga USD 3 per kilogram untuk menurunkan biaya produksi. Selain itu, kontrak untuk perbedaan harga yang diterapkan di Jepang dapat membantu produsen dengan menjamin perbedaan antara biaya produksi dan harga pasar,” tegas Fabby. 

Kemudian, di sisi permintaan, kata Fabby, kebijakan seperti mandat konsumsi yang diterapkan di Uni Eropa melalui Renewable Energy Directive (RED III), yang mewajibkan penggunaan hidrogen bersih di sektor transportasi dan industri, juga penting. Insentif finansial untuk pengguna akhir, seperti dukungan untuk kendaraan hidrogen dan infrastruktur yang diterapkan di Amerika Serikat melalui Low Carbon Fuel Standard (LCFS), juga dapat mendorong adopsi hidrogen bersih. 

Di sisi lain, Muhammad Akbar Rhamdhani, Direktur Fluid and Process Dynamics (FPD) Group, Swinburne menjelaskan, saat ini beberapa metode telah berkembang dalam teknologi elektrolisis air untuk produksi hidrogen. Salah satunya adalah elektrolisis alkali (alkaline electrolysis), yang merupakan metode yang paling matang dan sudah tersedia untuk produksi dalam skala besar. 

“Meskipun biaya produksinya lebih rendah, teknologi ini masih mengalami tantangan dalam hal densitas arus rendah dan efisiensi yang tidak optimal. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan daya tahan teknologi elektrolisis,” tegas Akbar. 

Share on :

Leave a comment