Jakarta, 24 April 2025 – Meskipun rasio elektrifikasi di kawasan ASEAN umumnya telah melebihi 90 persen, masih banyak masyarakat yang belum menikmati akses listrik yang andal dan berkualitas untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonominya. Demi memperkuat ketahanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi, negara di kawasan ASEAN perlu menerapkan sistem energi terdesentralisasi energi terbarukan berbasis lokal seperti tenaga surya, hidro mini, dan bioenergi.
Dalam momentum kepemimpinan Malaysia di ASEAN, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Dialog Regional: Mempromosikan Akses Energi Terdesentralisasi di Asia Tenggara pada Selasa (22/4/2025) hingga Rabu (23/4/2025). Acara ini bertujuan memberikan rekomendasi untuk mendorong desentralisasi energi terbarukan pada dokumen ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) dan bagian upaya kolektif regional untuk akselerasi transisi energi.
Sebanyak 29 narasumber turut terlibat dan berbagi pengalaman untuk merumuskan rekomendasi dari berbagai sisi, termasuk kebijakan, mekanisme pembiayaan, peningkatan kapasitas dan bentuk kolaborasi dan pengawasan. Selain itu, 97 peserta yang mewakili 8 negara di ASEAN dan 3 negara lain hadir untuk berdiskusi dan berjejaring membangun kolaborasi.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menekankan bahwa desentralisasi energi terbarukan merupakan upaya yang strategis untuk mencapai trilema energi dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Ia menuturkan penerapan sistem energi terbarukan terdesentralisasi di ASEAN masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur teknis untuk energi terbarukan, kesulitan mengakses pembiayaan yang terjangkau, dan keterbatasan sumber daya manusia yang terampil.
“Selain meningkatkan kemampuan jaringan untuk akomodasi energi terbarukan, mereformasi mekanisme pembiayaan yang menilai manfaat lebih dari sekadar kilowatt-jam, pembangunan kapasitas lokal dan transfer pengetahuan, ASEAN juga perlu memastikan sistem energi terdesentralisasi bisa terintegrasi dengan baik,” ungkap Fabby.
Prof. Ji Zou, CEO dan Presiden Energy Foundation China menegaskan, dengan keunggulannya dalam skalabilitas, keberlanjutan, dan aksesibilitas, energi terbarukan yang terdesentralisasi mampu menjadi pilar utama bagi masa depan energi ASEAN.
“Energi terdesentralisasi juga menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi. Saat ini, banyak negara di kawasan ASEAN berupaya meningkatkan investasi energi terbarukan di tengah permintaan pasar yang terus tumbuh, termasuk untuk sistem fotovoltaik terdistribusi (PV system), dan mini-grid hibrida. Energi terdesentralisasi membuka peluang untuk mendorong investasi, mempercepat inovasi teknologi, dan menciptakan model bisnis baru. Dengan membuka peluang ini, kita tidak hanya mempercepat transisi energi ASEAN, tetapi juga membangun fondasi bagi kemakmuran ekonomi jangka panjang dan ketahanan energi,” ujar Prof. Zou.
Chrisnawan Anditya, Plt. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyoroti pentingnya kolaborasi lintas negara dalam mendorong desentralisasi energi di kawasan ASEAN. Menurutnya, meskipun kebijakan dan regulasi terkait masih kompleks, pelibatan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan infrastruktur energi terbarukan secara jangka panjang.
IESR merangkumkan enam rekomendasi utama untuk mempercepat pengembangan energi terdesentralisasi di ASEAN.
Pertama, menekankan pentingnya integrasi desentralisasi energi dalam APAEC 2026–2030 sebagai strategi mitigasi ketergantungan terhadap infrastruktur jaringan listrik terpusat dan mendorong transisi energi yang adil serta pemberdayaan lokal.
Kedua, diversifikasi skema pembiayaan. Negara anggota ASEAN perlu mengembangkan mekanisme pembiayaan campuran (blended finance), memanfaatkan pembiayaan berbasis hasil (result-based financing, RBF), memperluas akses terhadap sukuk hijau (green bonds) dan pembiayaan iklim, serta mempromosikan kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnerships, PPP).
Ketiga, penerapan model yang inklusif dan partisipatif yang berpusat pada komunitas, pelembagaan peran pemerintah lokal dan masyarakat, serta mengembangkan panduan implementasi lintas negara
Keempat, penguatan kerangka kebijakan dan regulasi melalui harmonisasi regulasi energi terdesentralisasi, penetapan target dan roadmap nasional jangka panjang, integrasi dengan sistem jaringan, serta memberikan insentif dan mitigasi risiko.
Kelima, pembangunan kapasitas dan transfer pengetahuan. Beberapa langkah yang didorong seperti peluncuran program pelatihan dan sertifikasi regional, pembentukan pusat pengetahuan energi terdesentralisasi, serta dukungan untuk riset dan inovasi antarnegara.
Keenam, memperkuat kolaborasi dan pengawasan berkelanjutan melalui pembangunan platform dialog regional yang terinstitusionalisasi serta kerangka pemantauan. Selain itu, evaluasi berkala perlu dilakukan untuk memastikan akuntabilitas dan kemajuan yang terukur.