Jakarta, 22 April 2025 – Asia Tenggara menyaksikan pertumbuhan ekonomi signifikan yang berdampak pada permintaan energi yang melonjak drastis. Dengan kondisi geografis yang terdiri dari wilayah kepulauan, sistem pembangkit energi terdesentralisasi menjadi suatu kebutuhan untuk memastikan pasokan energi yang handal dan berkualitas untuk semua komunitas. Asia Tenggara saat ini masih didominasi oleh pembangkit berbasis fosil yang bersifat terpusat. Hal ini menjadi tantangan dalam pengembangan pembangkit listrik diarea pedesaan.
Ji Zou, CEO and President, Energy Foundation China, dalam sambutan pembukaan pada acara Regional Dialogue: Promoting Decentralized Energy Access in Southeast Asia yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa sistem pembangkit listrik terdesentralisasi berpeluang mengundang investasi, mempercepat inovasi teknologi, dan menciptakan model bisnis baru. Dengan membuka peluang tersebut, sistem energi terdesentralisasi tidak hanya mendukung tujuan transisi ASEAN yang ambisius, tetapi juga meletakkan dasar bagi kemakmuran ekonomi jangka panjang dan ketahanan energi.
“Untuk menangkap peluang tersebut, kita harus menjawab beberapa hal seperti kerangka kebijakan seperti apa yang sesuai, inovasi pendanaan yang dibutuhkan, juga cara memastikan peran serta masyarakat sekitar atas proyek yang kita buat,” jelas Zou.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia, menjelaskan bahwa kawasan Asia Tenggara dapat menjadi pionir pengembangan sistem pembangkit terdesentralisasi.
“Dengan mengoptimalkan keragaman geografis, struktur komunitas, dan aspirasi ekonomi kita (ASEAN), kita dapat menemukan pendekatan inovatif untuk bagi pengembangan sistem energi terdesentralisasi,” kata Fabby.
Chrisnawan Anditya, Pelaksana Tugas Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama, Sekretaris Jenderal, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, menyampaikan untuk konteks Indonesia, pemerintah telah mengusung sejumlah inisiatif yaitu distribusi APDAL (Alat Penyalur Daya Listrik) dan pemasangan SPEL (Stasiun Pengisian Energi Listrik), program Patriot Energi dan Dana Alokasi Khusus untuk daerah 3T (tertinggal, terdepan, terpencil).
“Tantangan yang ditemui selama implementasi berbagai inisiatif ini yaitu lanskap kebijakan yang rumit dan kondisi stakeholder yang berbeda di tiap daerah mengharuskan kami membuat penyesuaian di setiap lokasi,” katanya.
Cecilia Tam, Head of Energy Investment, International Energy Agency (IEA), menyatakan untuk menyediakan akses energi universal termasuk mode memasak bersih (clean cooking) membutuhkan kombinasi investasi yang berimbang pada penambahan pembangkit energi terbarukan dan jaringan listrik (grid), serta kebutuhan instrumen pendanaan inovatif.
“Untuk proyek-proyek yang memiliki risiko sangat tinggi, biasanya terjadi di area dengan akses rendah listrik dan infrastruktur. Karena tingkat pengembalian modal yang rendah, kita benar-benar perlu melihat investasi yang dipimpin publik dalam jumlah besar, di mana pendanaan konsesional dan dana hibah mengambil porsi yang besar,” kata Cecil.
Beni Suryadi, Senior Manager of ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation, ASEAN Centre for Energy (ACE) menyatakan bahwa akses energi listrik merupakan salah satu upaya inklusi sosial dan perlu mempertimbangkan akses listrik informal oleh masyarakat di pedesaan.
“Kerjasama antar stakeholder utamanya dari pemerintah dan industri harus terus didorong untuk mengatasi isu teknologi dan penyelarasan kebijakan dengan kebutuhan terkini,” kata Beni.
Michael Williamson, Chief of Section, Energy Division, United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN ESCAP) menjelaskan selain ketersambungan (koneksi), akses energi listrik juga perlu diperhatikan kualitasnya. Pedoman tier sistem yang dikembangkan World Bank dapat dijadikan panduan.
“Sistem tier tidak hanya berbicara kapasitas tetapi juga berbicara tentang ketersediaan, keandalan, kualitas, juga keterjangkauan. Peningkatan ekonomi dan sosial yang kita harapkan dari listrik bergantung pada pencapaian tier yang lebih tinggi. Kita tidak akan mencapai peningkatan ekonomi dan sosial dengan tier 1,” tegas Michael.