Jakarta, 26 Mei 2025 – Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% secara bertahap hingga 2029. Ambisi ini menempatkan sektor industri sebagai penggerak utama pertumbuhan. Namun, tantangan global seperti kebijakan proteksionis dan krisis iklim menjadi hambatan yang tidak dapat diabaikan. Menjawab tantangan tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) menggelar Sarasehan Industri Nasional dengan tema “Strategi Menuju Pertumbuhan 8% di Tengah Tantangan Perdagangan Global dan Ancaman Krisis Iklim” (26/5/2025) di Jakarta.
Acara ini menjadi forum lintas pemangku kepentingan dari pemerintah, dunia usaha, hingga organisasi riset untuk membahas strategi penguatan industri nasional di tengah dinamika global yang terus berubah. Sarasehan ini juga menjadi ajang mendiskusikan rencana aksi menuju industri yang tangguh, kompetitif, dan rendah emisi.
Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menegaskan bahwa target pertumbuhan ekonomi 8% memerlukan pertumbuhan sektor industri yang jauh lebih tinggi, dengan kontribusi mencapai 30% terhadap PDB pada 2029. Namun untuk mencapainya, Indonesia harus mampu mengatasi tiga tantangan besar: proteksionisme global, krisis iklim, dan tekanan keberlanjutan pasar internasional.
“Dekarbonisasi bukan sekadar tren, tapi keniscayaan untuk memastikan industri kita tetap relevan dan diterima di pasar global,” tegas Fabby. Ia menambahkan bahwa industri Indonesia memerlukan gelombang investasi baru yang berkualitas dan berkelanjutan, termasuk dalam efisiensi energi, pemanfaatan limbah panas, dan pengembangan energi terbarukan.
Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), menyoroti ketidakpastian ekonomi global dan dampak langsung terhadap sektor industri. Ia menyebut kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Indonesia terus menurun, sementara tantangan seperti biaya logistik tinggi dan ketergantungan impor bahan baku menekan daya saing nasional.
“Kita butuh reformasi regulasi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja untuk menghadapi era industri hijau,” ujarnya.
Staf Ahli Menteri Bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri, Adie Rochmanto Pandiangan, menegaskan bahwa transformasi industri menuju rendah karbon menjadi bagian dari strategi nasional. Pemerintah mendorong peta jalan dekarbonisasi dan memberikan sertifikasi industri hijau sebagai insentif. Namun ia mengakui bahwa kesiapan teknologi dan investasi tetap menjadi tantangan utama.
Oktorialdi, Perencana Ahli Utama Bappenas menyampaikan bahwa pembangunan industri rendah karbon telah masuk dalam agenda transformasi nasional. Ia menekankan pentingnya konsistensi kebijakan dan sinkronisasi antar-lembaga untuk mempercepat pencapaian target ekonomi dan lingkungan.
Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi, INDEF menegaskan bahwa keberhasilan dekarbonisasi industri tidak hanya bergantung pada investasi teknologi, namun juga pada kepemimpinan yang kuat dan koordinasi lintas sektor. Sementara Yustinus Gunawan dari AKLP menyoroti kendala energi dan biaya listrik di kawasan industri yang masih menjadi penghambat investasi dan akselerasi industri hijau.
Dalam sesi penutup, Juniko Nur Pratama, Manajer Program Dekarbonisasi Industri IESR, menyampaikan bahwa forum ini membuka ruang dialog strategis yang dibutuhkan untuk memperkuat arah kebijakan industri nasional yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tapi juga keberlanjutan.