Jakarta, 12 Juni 2025 – Usaha Kecil Menengah (UKM) berkontribusi pada lebih dari 60 persen GDP Indonesia dan 97 persen lapangan kerja di Indonesia. Kontribusi ekonomi yang besar ini juga membawa kontribusi emisi yang signifikan. Transformasi sektor UKM Indonesia menuju sistem produksi yang lebih rendah emisi akan menjadi salah satu langkah strategis dekarbonisasi ekosistem industri Indonesia dan berkontribusi pada target NZE Indonesia tahun 2060 atau lebih cepat.
Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas dan Asian Development Bank (ADB) memandang perlu adanya pedoman praktis bagi pengusaha kecil dan menengah saat mereka akan melakukan transformasi usaha menjadi UKM hijau.
Renadi Budiman, Deputy Country Director, ADB Indonesia Resident Mission, dalam forum Diskusi Kertas Putih Rekomendasi Kebijakan untuk Transformasi UKM Hijau, menyatakan bahwa sistem ekonomi dunia sedang berada dalam periode transisi besar-besaran yang digerakkan oleh perubahan iklim. Perjanjian internasional seperti Persetujuan Paris dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) menentukan akses pasar dan akses modal.
“Terdapat perubahan minat investor dalam menanamkan modalnya. Aspek keberlanjutan seperti lingkungan, sosial, dan tata kelola menjadi salah satu pertimbangan utama sebelum berinvestasi. Dengan rasio UKM Indonesia yang besar, kebijakan ini juga akan berdampak pada sektor UKM,” katanya.
Maliki, Deputi Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas mengkonfirmasi hal tersebut dan menyatakan bahwa negara mitra dagang Indonesia mulai menerapkan sertifikasi lingkungan untuk produk impornya.
“Hal ini menjadi hal kritis untuk UMKM, karena jika pihak UMKM juga dikenakan aturan ini nilai ekspor UMKM Indonesia akan turun drastis,” kata Maliki.
Faricha Hidayati, Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri, IESR, salah satu penulis kertas putih kebijakan menjelaskan bahwa tim penulis membuat sejumlah indikator UKM hijau antara lain proses produksinya yang menggunakan prinsip green processing, barang yang dihasilkan adalah produk-produk hijau, serta usaha yang menjalankan prinsip berkelanjutan dan tata kelola baik (good governance).
“Transformasi dekarbonisasi sektor UKM telah dilakukan oleh beberapa negara, yang berarti contoh keberhasilan sudah ada dengan bermacam strateginya. Hal yang menjadi tantangan selanjutnya adalah kerjasama antar sektor termasuk pemerintah dan lembaga pelatihan untuk membangun kapasitas UKM,” kata Faricha.
Ristika Putri Istanti, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), mengatakan bahwa minat UKM untuk bertransformasi menuju sistem produksi yang lebih efisien dan hijau tinggi, apalagi terdapat konsekuensi ekonomi terkait penerimaan produk di pasar.
“Dengan minat UKM yang besar ini, perlu disiapkan desain transformasi yang sesuai dengan situasi UKM Indonesia saat ini. Kami melihat perlu adanya penguatan SDM dan kelembagaan bagi UKM serta penguatan ekosistem rantai pasok produk UKM di hulu dan hilir,” katanya.
Lishia Erza, ADB Consultant, yang juga menjadi tim penulisan kertas putih menjelaskan bahwa keberadaan kertas putih rekomendasi transformasi UKM hijau ini akan menjadi sinyal dan panduan bagi sektor UKM yang berminat untuk ambil bagian dari transisi dan NZE nasional.
“Secara garis besar, kami merekomendasikan adanya kriteria UKM hijau berdasarkan prinsip ESG dan tata kelola; adanya pembagian kategori UKM hijau mulai dari tersertifikasi (certified), pendatang baru (emerging), dan potensial (potential); adanya akses pendanaan; kewajiban pemenuhan prinsip ESG, dan adanya Pusat Inovasi UKM hijau,” kata Lishia.
Dokumen kertas putih yang disusun atas hasil kolaborasi IESR, Bappenas dan ADB ini menyoroti lima fokus untuk akselerasi pengembangan transformasi UMKM menjadi lebih berkelanjutan. Diantaranya penyiapan target, pengembangan insentif fiskal dan non-fiskal, pengembangan kapasitas, percepatan adopsi teknologi dan inovasi, dan penyiapan kerangka hukum dan regulasi yang selaras di tingkat daerah maupun nasional.