Mengawal Transisi Energi secara Komprehensif

Yogyakarta, 4 Juni 2025 – Transisi energi menuju sumber terbarukan menjadi kunci untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada batubara sekaligus mendorong ekonomi berkelanjutan. Dalam Seminar Publik Reformasi Kebijakan Batubara yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) berkolaborasi dengan Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, memaparkan terdapat 333 GW potensi energi terbarukan di Indonesia yang layak secara finansial. Potensi ini termasuk 166 GW energi surya dan 127 GW energi angin. Potensi energi terbarukan ini harus dimanfaatkan agar Indonesia tidak banyak bergantung pada sumber energi fosil.

“Mereformasi kebijakan harga batubara (Domestic Market Obligation, DMO) penting untuk membuat energi terbarukan kompetitif. Hanya 1,6 GW dari 10,9 GW rencana energi terbarukan pada RUPTL 2021 terealisasi,” katanya.

Prof. Sarjiya, Kepala PSE UGM, dalam sambutannya menyatakan bahwa keamanan energi adalah prasyarat utama untuk menarik investasi dan mendorong ekonomi, sementara transisi energi membuka peluang kerja baru. 

Alhaqurahman Isa, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa peta jalan transisi energi sektor kelistrikan berdasarkan Permen ESDM No. 10/2025 menargetkan Indonesia akan mengurangi emisi sektor kelistrikannya secara bertahap. Pemanfaatan energi terbarukan menjadi strategi kunci. 

“Secara bertahap kita akan naikkan baurannya. Secara khusus RUPTL 2025-2034 menargetkan penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 42,6 GW dan 10,2 GW sistem penyimpanan energi,” kata Haqi.

Leo Yudha Rio Putro, Kepala Seksi Energi dan Ketenagalistrikan Dinas PUP-ESDM Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menjelaskan bahwa provinsi DIY mengalami tantangan tersendiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. 

“Meski secara luas provinsi kami kecil, namun kebutuhan energi kami tinggi, dan kami tidak memiliki pembangkit energi lokal. Kami sepenuhnya bergantung pada sembilan gardu induk dari jaringan Jawa-Bali,” kata Leo. 

Leo menambahkan dengan situasi ini, pihaknya kesulitan mencapai target bauran energi terbarukan daerah yang tertuang pada Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Maka pihaknya berencana untuk meninjau ulang RUED DIY dan melakukan penyesuaian.

Transisi energi merupakan perubahan sistematis yang akan berdampak salah satunya pada ekonomi, terutama daerah atau provinsi yang bergantung pada ekonomi pertambangan. 

Rachmawan Budiarto, Plt Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM menjelaskan bahwa untuk memastikan proses transformasi energi terjadi harus memastikan proses diversifikasi ekonomi terjadi terlebih dahulu. Beberapa sektor yang diusulkan adalah sektor pertanian dan UMKM.

“Kunci dari transformasi ekonomi daerah adalah inklusi politik dimana keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dipastikan terjadi sehingga transformasi ekonomi hijau yang terjadi akan lebih kuat,” kata Rachmawan.

Inovasi teknologi juga menjadi hal krusial dalam proses transisi energi, terutama untuk sektor manufaktur dan sektor lain yang memiliki intensitas emisi tinggi. Akmal Irfan Majid, peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM mengatakan bahwa penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar maupun pembawa energi (energy carrier) telah menjadi pertimbangan. Harga keekonomian yang masih cukup tinggi menjadi salah satu tantangan dalam penggunaan hidrogen secara luas.

“Hidrogen hijau berpotensi mengurangi emisi baja hingga 50%, namun inovasi elektrolisis diperlukan untuk menekan biaya,” jelasnya.

Aksi dan inovasi dekarbonisasi berbagai sektor membutuhkan payung hukum kebijakan yang kuat. Irine Handika, Pusat Studi Energi UGM memaparkan bahwa saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah aturan kebijakan untuk transisi energi. Namun beberapa aturan tidak harmonis terkait beberapa target krusial seperti pensiun PLTU yang dalam Permen ESDM No. 10/2025 mewajibkan adanya pensiun dini PLTU sementara RUKN 2024 cenderung menghindari mandat pensiun dini dan mendukung pensiun alami PLTU. 

“Adanya norma hukum yang jelas dan konsisten dan selaras dengan hukum yang lebih tinggi seperti UU RPJPN dan RUKN akan memberikan kepastian hukum untuk bertindak bagi eksekutor seperti PLN,” katanya.

Irine juga menambahkan dalam proses penyusunan kebijakan transisi energi harus melibatkan masukan pemangku kepentingan untuk memastikan landasan hukum yang rasional.

Share on :

Leave a comment