Laman Belajar Transisi untuk Meningkatkan Pemahaman Publik tentang Transisi Energi

Jakarta, 25 Juni 2025 – Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan suhu rata-rata global lebih dari 1,5 derajat Celcius dibandingkan zaman pra-industri (tahun 1850–1900). World Meteorological Organization (WMO) memprediksi bahwa tanpa tindakan segera, suhu di tahun-tahun mendatang bisa lebih panas lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu semakin sedikit untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim. Oleh karena itu, Indonesia, bersama dengan negara-negara lainnya, perlu bertindak sesuai dengan target Perjanjian Paris, yaitu menjaga suhu global tetap di bawah 2 derajat Celcius, dan berupaya untuk tetap berada di bawah 1,5 derajat Celcius. Hal ini diungkapkan oleh Kurniawati Hasjanah, Staf Komunikasi Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Webinar Menepis Ragu Transisi Energi yang digelar pada Selasa (24/6).

“Salah satu penghambat utama dalam transisi energi adalah maraknya informasi yang tidak akurat, baik yang disebarkan secara sengaja (disinformasi) maupun tidak sengaja (misinformasi), serta berita palsu yang memicu kebingungan di masyarakat. Biasanya, informasi yang tidak benar ini disebarkan oleh pihak-pihak dengan kepentingan ekonomi atau politik,” tegas Kurniawati. 

Mengutip data Laporan Yayasan Indonesia Cerah, kata Kurniawati, media massa sering kali lebih banyak membahas kebijakan makro yang tidak terlalu relevan dengan kebutuhan praktis masyarakat, sementara masyarakat pada umumnya butuh informasi yang praktis dan relevan. 

“Oleh karena itu, IESR meluncurkan laman Belajar Transisi Energi untuk menyajikan informasi yang berbasis fakta dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Laman Belajar Transisi Energi ini disesuaikan dengan audiens yang berbeda, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa,” ujar Kurniawati. 

Platform Belajar Transisi Energi mencakup enam tema penting, seperti mengapa Indonesia harus bertransisi energi, apakah energi terbarukan dapat diandalkan, apakah energi fosil benar-benar murah, apakah kendaraan listrik dapat mengurangi emisi, dan berbagai hal terkait kompor induksi. 

Agung Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, mengungkapkan transisi energi mulai mendapatkan perhatian besar di Indonesia sekitar tahun 2017. Sebelumnya, topik ini hampir tidak terdengar di media atau percakapan publik. Sejak saat itu, pembicaraan tentang transisi energi berkembang pesat, terutama di media digital dan sosial serta media mainstream. 

“Tetapi, sering kali ada kesenjangan antara apa yang disampaikan oleh pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang dengan apa yang dipahami oleh publik. Kebanyakan pemberitaan mengenai transisi energi lebih fokus pada isu-isu teknokratik, seperti kebijakan, target investasi, dan teknologi. Hal ini, meskipun penting, sering kali tidak terhubung dengan kebutuhan dan pemahaman publik yang lebih luas,” ujar Agung. 

Dengan kondisi tersebut, menurut Agung,  platform belajar yang memperkenalkan konsep transisi energi kepada publik sangat diperlukan. Platform semacam ini tidak hanya menyampaikan informasi secara teknis, tetapi juga mengemasnya dalam bahasa yang mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Baik itu untuk anak-anak, remaja, atau orang dewasa, platform edukasi harus mampu menyesuaikan gaya bahasa dan pendekatan yang digunakan untuk audiens yang berbeda.

Ika Idris, Associate Professor, Public Policy and Management di Monash University Indonesia, menekankan pentingnya memahami motivasi yang mendasari perilaku publik dalam mendukung atau menanggapi isu besar seperti transisi energi. Menurut teori psikologi, terdapat berbagai motivasi yang dapat mempengaruhi sikap individu, seperti kebutuhan akan keamanan, stabilitas, pencapaian, status sosial, keadilan sosial, dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan. Dalam konteks ini, motivasi-motivasi tersebut dapat digerakkan untuk mendukung transisi energi jika narasi yang disampaikan mampu menghubungkan isu ini dengan nilai-nilai yang dihargai oleh masyarakat.

“Sebagai contoh beberapa waktu lalu ada gerakan boikot terhadap perusahaan yang terlibat dalam kasus korupsi besar. Masyarakat merasa tergerak untuk membeli produk dari perusahaan yang dianggap lebih transparan dan tidak korup. Ini menunjukkan bahwa publik memiliki potensi untuk bertindak berdasarkan prinsip moral dan nilai yang mereka pegang. Jika transisi energi bisa dikemas dalam narasi yang berhubungan dengan keadilan sosial atau tanggung jawab terhadap masa depan, maka masyarakat lebih mungkin terlibat dalam mendukung perubahan ini,” kata Ika. 

Pintoko Aji, Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan, IESR menegaskan perlunya membangun argumen dengan menunjukkan keberpihakan pada masyarakat yang terdampak. Dalam konteks transisi energi, banyak masyarakat yang langsung terkena dampak dari penggunaan energi fosil, seperti polusi dan kerusakan lingkungan. Sebagai bagian dari solusi, energi bersih yang lebih ramah lingkungan bisa memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas, dan ini menjadi alasan penting untuk berpihak pada transisi energi.

“Selain itu, teknologi energi tidak bisa dipandang secara netral. Setiap teknologi membawa nilai-nilai tertentu yang terhubung dengan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Dalam topik ini, teknologi energi bersih harus dipandang sebagai sebuah upaya yang tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga bagi masyarakat yang seringkali menjadi korban dari kerusakan yang ditimbulkan oleh energi fosil. Dengan demikian, penting untuk selalu berpihak pada kepentingan masyarakat luas, khususnya mereka yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dan polusi,” ujar Pintoko.

Share on :

Leave a comment