Jakarta, 30 Juni 2025 – Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034 mencanangkan target penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 42,6 GW, dan 10,3 sistem penyimpanan energi (energy storage system). Seiring dengan bertambahnya kapasitas energi terbarukan, maka perlu pengembangan jaringan transmisi yang mampu mengakomodasikan dan pengoperasian sistem energi secara fleksibel.
Institute for Essential Services Reform (IESR) telah menyelesaikan laporan Fleksibilitas dalam Pengembangan Sistem Ketenagalistrikan Studi Kasus Pulau Sulawesi. Laporan ini secara khusus melihat dan menganalisis situasi sistem ketenagalistrikan di Sulawesi. Pulau Sulawesi dipilih mengingat proyeksi ke depan, akan terdapat pengembangan industri secara masif di pulau ini untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi.
Abraham Octama Halim, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR menyatakan dengan tingginya target energi terbarukan pada RUPTL, penting untuk melihat kapasitas jaringan kelistrikan saat ini untuk mengakomodasi integrasi variabel energi terbarukan.
“Pembangkitan energi akan bergeser dari berbasis energi fosil menjadi lebih banyak energi terbarukan. Berdasarkan pemodelan IESR terhadap target energi terbarukan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) energi terbarukan yang variabel akan meningkat signifikan dari 2,4 persen tahun 2024 menjadi sekitar 29 persen tahun 2060,” kata Abraham.
Kenaikan bauran energi terbarukan variabel ini membutuhkan penyeimbang sistem baik berupa sistem penyimpanan energi seperti baterai, ataupun pembangkit energi yang dioperasikan secara fleksibel. Teknologi energi terbarukan yang mengambil fleksibilitas ini berbeda-beda sesuai dengan skala waktu, sehingga membutuhkan integrasi perencanaan sistem energi.
Bersamaan dengan laporan di atas, diluncurkan pula kajian Rencana Pengembangan Sektor Ketenagalistrikan Jangka Panjang untuk Mencapai 100% Listrik Terbarukan di Pulau Timor dan Pulau Sumbawa yang menunjukkan Pulau Sumbawa, dan Pulau Timor dapat mencukupi kebutuhan energinya dari sumber energi terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa kondisi geografis Indonesia yang awalnya menjadi tantangan pengembangan infrastruktur energi, kini menjadi potensi besar untuk pengembangan energi terbarukan.
“Pengembangan sistem energi berdasarkan pulau adalah suatu keharusan geografis dan ekonomis. Di Sulawesi, fleksibilitas sistem kelistrikan menjadi kunci untuk mengintegrasikan sumber energi terbarukan yang variabel. Pulau Sumbawa menunjukkan bahwa elektrifikasi 100% energi terbarukan dapat memberikan pasokan energi yang aman dan terjangkau sambil menghilangkan emisi karbon. Adapun di Pulau Timor pengembangan energi surya, angin dan biomassa dapat menggantikan pembangkit-pembangkit fosil yang saat ini beroperasi (existing) dan yang direncanakan dalam RUPTL terbaru, dengan memberikan harga listrik yang kompetitif dibandingkan dengan sistem yang menggunakan energi fosil,” kata Fabby.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, IESR menyatakan berdasarkan analisis IESR secara teknis, penggunaan energi terbarukan sepenuhnya di Pulau Sumbawa dan Pulau Timor sangat memungkinkan.
“Berdasarkan hasil pemodelan beberapa skenario, terlihat bahwa dengan memilih sistem energi yang mengakomodasi energi terbarukan maka dapat menekan biaya pembangkitan energi, sekaligus menurunkan emisi,” kata Alvin.
Alvin menekankan pentingnya komitmen politik dari pemerintah sebagai pendorong utama percepatan transisi energi. Dua pulau yang dipilih sebagai studi kasus memiliki komitmen progresif untuk mengembangkan sistem energi berbasis energi terbarukan.
Farah Heliantina, Asisten Deputi Percepatan Transisi Energi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menjelaskan bahwa untuk mendukung percepatan transisi energi di Indonesia pihaknya telah merancang kebijakan yang mempermudah partisipasi pihak swasta dalam membangun pembangkit energi terbarukan untuk memastikan kelancaran arus investasi.
“Saat ini kami baru saja mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2025 yang menjadi pengganti PP No. 5/2021. Dalam peraturan baru ini, proses perizinan dibuat dengan lebih ringkas dan menjadi landasan hukum kuat bagi investor. Dengan begitu, kontribusi (investasi) pada APBD dan APBN akan meningkat,” kata Farah.
Isaac Portugal, Renewable Integration Security Unit, IEA, menjelaskan bahwa tantangan yang muncul dari pergeseran sistem energi menjadi berbasis energi terbarukan adalah tantangan teknis menyangkut ketahanan dan fleksibilitas jaringan untuk menampung energi terbarukan variabel. Sistem penyimpanan energi seperti baterai ataupun penyimpanan daya hidro terpompa (pump hydro energy storage, PHES) dibutuhkan sebagai penyeimbang.
“Yang harus diperhatikan adalah teknologi penyeimbang baik itu baterai, PHES, ataupun sistem operasi fleksibel bersifat padat modal (capital intensive). Maka dibutuhkan perencanaan dan perancangan sistem insentif yang tepat untuk instalasi teknologi penyeimbang ini,” jelas Isaac.