Mendorong Partisipasi Warga dan Industri untuk Capai Bali NZE 2045

Denpasar, 25 Agustus 2025 – “Dengan dominasi sektor pariwisata, pertumbuhan kebutuhan listrik di Bali diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2045–2050. Oleh karena itu, selain menghitung kebutuhan energi, penting untuk menyiapkan infrastruktur yang mendukung transisi menuju energi bersih. Solusi yang paling realistis adalah memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap,”  ujar Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Forum Nasional: Sesi Pembukaan dan Pleno Pekan Iklim Bali pada Senin (25/8/2025). 

Fabby menyoroti tekad Bali mencapai Net Zero Emission (NZE) atau Emisi Nol Bersih pada tahun 2045, atau 15 tahun lebih cepat dibandingkan target nasional NZE 2060. Menurutnya, langkah pertama untuk mewujudkan target tersebut adalah memastikan ketersediaan sumber energi terbarukan. Kajian menunjukkan bahwa Bali memiliki potensi energi terbarukan yang besar, terutama dari tenaga surya. 

“Sumber lain seperti panas bumi memang ada, tetapi pengembangannya sejak tahun 1990-an ditolak masyarakat karena alasan sosial dan kultural. Kasus PLTP Bedugul menjadi bukti bahwa transisi energi harus dilakukan secara berkeadilan, yaitu tidak hanya adil bagi lingkungan, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai masyarakat lokal,” ucap Fabby. 

Lebih lanjut, Fabby menuturkan saat ini pasokan listrik Bali masih didominasi pembangkit fosil terpusat, seperti PLTU Celukan Bawang dan PLTG/PLTD Pesanggaran. Ke depan, sistem kelistrikan tidak bisa lagi bergantung pada model terpusat, melainkan harus terdistribusi. 

“Dengan dukungan teknologi baterai yang semakin terjangkau, PLTS atap dapat dilengkapi penyimpanan energi minimal 20 persen dari kapasitasnya untuk menjaga keandalan sistem. Bahkan, jika dikembangkan lebih besar, jaringan pembangkit kecil ini bisa berfungsi sebagai virtual power plant, yang fleksibel sekaligus efisien,” tegas Fabby. 

Fabby mengakui seringkali terdapat pertanyaan terkait biaya dalam melakukan transisi energi. Misalnya saja terkait apakah hotel, vila, atau restoran harus menanggung investasi besar untuk memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Menurutnya, model bisnis energi terbarukan telah berkembang melalui skema leasing, yang memungkinkan pemilik usaha cukup membayar sesuai konsumsi listrik yang digunakan, dengan tenor 15–20 tahun. Dengan mekanisme ini, pelaku industri tidak perlu mengeluarkan modal besar di awal (Capex), sehingga transisi ke energi bersih menjadi lebih terjangkau dan dapat diakses juga oleh rumah tangga.

“Namun demikian, adopsi energi terbarukan di Bali tidak terlepas dari tantangan regulasi. Saat ini, aturan ketenagalistrikan di Indonesia masih membatasi konsumen untuk menjual listrik ke jaringan PLN. Padahal, di banyak negara, praktik ini sudah menjadi hal yang lumrah dan justru mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan energi bersih. Oleh karena itu, reformasi regulasi menjadi langkah penting agar masyarakat difasilitasi untuk berkontribusi dalam transisi energi. Momentum ini sejalan dengan pernyataan Presiden Republik Indonesia dalam Nota Keuangan di DPR, yang menyebutkan bahwa Indonesia berpotensi mencapai 100% energi terbarukan dalam waktu 10 tahun,” jelas Fabby. 

Share on :

Leave a comment