Jakarta, 20 Agustus 2025 – Sektor industri berperan signifikan dalam perekonomian nasional pada tahun 2025, dengan kontribusi industri pengolahan terhadap Penerimaan Domestik Bruto (PDB) mencapai 16,92%. Pertumbuhan sektor manufaktur tumbuh sebesar 5,60% melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di angka 5,12%. Sepanjang semester I 2025, ekspor manufaktur mencapai US$107,6 miliar atau setara 83% dari total ekspor nasional. Serapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan nonmigas juga melampaui 19 juta orang. Namun, capaian ini tidak lepas dari tantangan besar, yakni tekanan geopolitik dan geoekonomi, tuntutan penurunan emisi, transisi energi bersih, serta tuntutan menjaga daya saing industri di era ekonomi hijau. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang dalam acara The 2nd AIGIS 2025 hari pertama pada Rabu (20/6/2025) yang turut didukung oleh British Embassy Jakarta dan Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI).
“Melakukan transformasi menuju industri hijau tidak boleh dianggap menjadi beban, melainkan sebuah investasi. Untuk itu, negara wajib hadir untuk mendukung transformasi industri hijau. Melalui 2nd AIGIS 2025 ini, kita bersama-sama mensukseskan Asta Cita yang telah ditetapkan Presiden RI Prabowo Subianto, yang mencakup kemandirian ekonomi hijau dan biru, penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs), industrialisasi yang bernilai tambah, harmoni lingkungan dan alam,” tegas Agus.
Agus menekankan, terdapat empat faktor pendorong utama industri harus bertransformasi. Pertama, pasar global semakin selektif. Konsumen kini mencari produk ramah lingkungan, transparan dalam jejak karbon, dan berkelanjutan. Kedua, adanya pertumbuhan pembiayaan hijau, yang ditandai dengan lembaga keuangan makin fokus mendukung proyek ramah lingkungan dengan standar Environmental Social Governance (ESG). Ketiga, Pemerintah telah mempersiapkan insentif fiskal, regulasi efisiensi, hingga peta jalan dekarbonisasi industri. Keempat, Eropa sudah menerapkan mekanisme Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), sehingga produk berkarbon tinggi bisa dikenakan pajak tambahan.
“Tantangan terbesar industri untuk bertransformasi adalah biaya tinggi dan keterbatasan pendanaan. Karena itu, kami menghadirkan GISCO (Green Industry Service Company) sebuah platform layanan terpadu untuk mempercepat adopsi praktik industri hijau. GISCO mencakup pendampingan teknis, penghitungan jejak emisi, perencanaan transisi, implementasi teknologi rendah karbon, hingga fasilitasi pembiayaan hijau. GISCO diposisikan sebagai jembatan antara industri, keuangan, dan teknologi, serta mendapat dukungan dari Bank Dunia melalui blended finance dan hibah (grant). Program ini juga telah masuk dalam Blue Book Bappenas,” kata Agus.
Sementara itu, perwakilan dari UK Foreign, Commonwealth and Development Office (UK FCDO), Ivana Dimitrova, membagikan pengalaman dari negara Inggris mengenai peran aktif pemerintah dalam mendorong dekarbonisasi industri menuju net zero emission. Di Inggris, sistem Emissions Trading Scheme (ETS) sudah berlaku sekitar 20 tahun. Awalnya, Inggris tergabung dalam ETS Uni Eropa (EU ETS) sejak 2005. Namun setelah Brexit, Inggris keluar dan meluncurkan United Kingdom Emissions Trading System (UK ETS) pada 2021. Hasilnya, Inggris berhasil menurunkan emisi sebesar 54% dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 80% dibandingkan tahun 1990, selanjutnya UK ETS ini digunakan sebagai instrumen utama dalam upaya menuju net-zero 2050.
“Instrumen ETS menggunakan skema cap-and-trade. Kami menetapkan batas total emisi tahunan untuk beberapa sektor termasuk listrik, industri, dan penerbangan, kemudian batas tersebut akan menurun setiap tahun menuju net-zero. Dengan instrumen ini, setiap perusahaan wajib memiliki izin emisi gas rumah kaca (GHG permit) untuk bisa beroperasi sekaligus mengeluarkan emisi. Izin ini menentukan batas maksimal (cap) emisi yang boleh dilepaskan perusahaan. Setelah itu, perusahaan harus menyerahkan jatah izin emisi (allowances) yang jumlahnya sesuai dengan emisi aktual yang mereka keluarkan setiap tahunnya. Mekanisme ini memberi insentif untuk menurunkan emisi karbon dengan memastikan ekonomi negara tetap tumbuh,” tegas Ivana pada hari kedua pelaksanaan The 2nd AIGIS, Kamis (21/8).
Menurut Ivana, skema ini memperketat kuota secara agresif dengan menentukan anggaran emisi pada tahun 2021 untuk sektor listrik, industri, dan penerbangan sekitar 156 MtCO₂, dan dipersempit menjadi sekitar 44% pada 2025 dan diestimasikan turun menjadi sekitar 50 MtCO₂ pada 2030. Harga karbon yang awalnya sekitar £5/tCO₂ kini naik secara signifikan, memberi sinyal kuat bahwa investasi terhadap usaha pengurangan emisi kian sepadan dengan harga karbon yang tinggi dan secara efektif mendorong industri mengubah perilaku dalam mengelola emisi.
“Sistem cap and trade menjadi semakin efektif karena kami memberikan dunia usaha keleluasaan dalam memperdagangkan alokasi emisi. Belajar dari pengalaman penerapan skema ini, penyusunan dan perancangan skema ini sebaiknya dievaluasi setiap 10 tahun untuk memberikan kepastian dan prediktabilitas bagi pelaku usaha, sekaligus memastikan adanya arah kebijakan jangka panjang yang jelas,” ujar Ivana.
Transformasi industri hijau, industri pengolahan, peluang pasar karbon, pertumbuhan ekonomi, dekarbonisasi industri, GISCO, Green Industry Service Company, Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), Emissions Trading Scheme (ETS), green jobs, ESG, Agus Gumiwang, Ivana Dimitrova, Asta Cita Prabowo Subianto.