Jakarta, 2 September 2025 – Pemerintah Indonesia mulai menempatkan energi surya sebagai strategi penting untuk penurunan emisi dan pemenuhan kebutuhan energi di tingkatan nasional, daerah maupun industri. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) untuk periode 2025-2034, menargetkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sekitar 17,1 GW. Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga meluncurkan program 100 GW PLTS yang dikembangkan secara tersebar di desa-desa.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang rencana dan inisiatif pemanfaatan energi surya ini perlu didukung dan dipastikan berjalan dengan adil dengan mengatasi berbagai tantangan regulasi, finansial, tata kelola yang berkelanjutan, dan pengembangan rantai pasoknya. Untuk memperkuat komitmen, kolaborasi lintas sektor, dan pembelajaran strategis untuk mempercepat integrasi energi surya sebagai pilar utama transisi energi yang berkelanjutan dan kompetitif, IESR bekerja sama dengan dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia akan menyelenggarakan Indonesia Solar Summit (ISS) 2025. Forum ini merupakan cerminan semangat gotong royong dalam memastikan pemanfaatan energi hijau yang masif dan inklusif.
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, menyampaikan bahwa pemanfaatan PLTS di Indonesia berkembang dengan pola berbeda pada setiap skala, mulai dari elektrifikasi desa, kebutuhan industri, hingga pembangkit skala utilitas. Meski demikian, tantangan yang dihadapi relatif serupa, yakni regulasi yang kerap berubah, keterbatasan skema pembiayaan, serta rantai pasok domestik yang masih lemah.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia sebenarnya mulai menunjukkan momentum pengembangan PLTS. Indonesia baru memiliki regulasi khusus PLTS atap pada 2018, yang mendorong adopsi relatif cepat terutama di sektor industri dengan kapasitas mencapai puluhan MW per lokasi. Hingga Mei 2025, kapasitas terpasang PLTS nasional akhirnya berhasil melampaui 1.000 MW (1 GW). Program PLTS atap di tingkat provinsi seperti Jawa Tengah dan DKI Jakarta juga memperlihatkan tren positif, dengan ratusan rumah tangga, UMKM, hingga sekolah dan pesantren mulai mengadopsinya. Di sisi industri, perusahaan besar mulai memasang PLTS atap untuk menekan biaya listrik sekaligus memenuhi tuntutan pasar ekspor yang makin ketat terhadap penggunaan energi bersih. Momentum ini perlu diperkuat agar PLTS tidak hanya berhenti pada proyek percontohan, tetapi berkembang menjadi arus utama dalam sistem energi nasional.
Menurut IESR, percepatan pemanfaatan PLTS hanya bisa terwujud jika didukung oleh kebijakan yang konsisten, akses pembiayaan yang adil dan inklusif, serta partisipasi aktif masyarakat.
“Energi surya adalah kunci transisi energi bersih. Dengan potensi lebih dari 7 TW, Indonesia punya peluang besar untuk melompat ke masa depan yang lebih hijau. Momentum ini jangan hanya dimanfaatkan industri besar; PLTS harus hadir juga di sekolah, pesantren, UMKM, hingga rumah tangga.” tegas Marlistya dalam Media Briefing Indonesia Solar Summit 2025 pada Selasa (2/9).
Ia menambahkan, ISS 2025 akan menyoroti peran partisipasi masyarakat melalui aksi nyata komunitas, pemerintah daerah, dan pelaku pasar. Selain itu, forum ini juga akan membahas pengembangan energi surya sekaligus mendorong investasi dan inovasi dengan mempertemukan pelaku usaha, penyedia teknologi, dan pembuat kebijakan.
Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan pemerintah sedang menyusun regulasi untuk pengembangan energi terbarukan, di antaranya rancangan revisi Peraturan Presiden No.112/2022 dan Permen ESDM tentang PLTS Operasi Paralel.
Andriah mendorong partisipasi pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan di antaranya dengan menyelaraskan tata ruang wilayah untuk mendukung investasi PLTS, menjadi mediator dalam isu pembebasan lahan, mengalokasikan APBD untuk proyek PLTS di bangunan pemerintah dan publik, serta memberikan insentif untuk pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, IESR, mengatakan berdasarkan pemetaan pertumbuhan PLTS di Indonesia, dari total 916 MW kapasitas PLTS terpasang di Indonesia per akhir 2024, sebagian besar disumbang oleh PLTS skala besar. Namun, ia menilai ada tren baru di mana PLTS terdistribusi seperti PLTS atap, terutama dari sektor industri berkontribusi signifikan pada tahun 2024, dengan penambahan kapasitas lebih dari 100 MW.
“PLTS captive atau PLTS yang digunakan untuk sektor industri menjadi faktor yang meningkatkan daya saing industri Indonesia di pasar global. Dilihat dari perkembangannya, wilayah usaha (wilus) telah meningkat tiga kali lipat sejak 2017 sehingga menjadi peluang besar bagi pemasangan PLTS captive. Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam perencanaan sistem, data, dan perizinan, misalnya melalui aplikasi,” jelas Alvin.
Lebih jauh, Alvin mengungkapkan proyek ekspor listrik energi terbarukan 3,4 GW ke Singapura dapat menjadi peluang memperkuat rantai pasok dalam negeri dengan TKDN 60 persen. Untuk itu, pemerintah perlu menetapkan dasar hukum untuk menegaskan peran PLN dalam proyek tersebut.
Ditinjau dari sisi rantai pasok PLTS, estimasi kapasitas produksi modul surya Indonesia mencapai 11,7 GWp per tahun, dengan beberapa produsen Tier-1 juga telah berinvestasi di Indonesia. Penyerapan kapasitas produksi ini perlu ditingkatkan, salah satunya konsistensi permintaan dalam negeri melalui proyek skala utilitas. Selain itu, saat ini harga modul lokal relatif lebih mahal 30-40 persen dibandingkan impor, sehingga perlu dibantu dengan insentif seperti pembebasan bea masuk bahan baku.
“Untuk mendorong investasi pada rantai pasok, maka penting untuk memastikan adanya permintaan dalam negeri yang konsisten. Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi agar aturan TKDN tetap mampu menarik investasi sambil tetap melindungi industri lokal,” tegas Alvin.
Untuk memastikan keberhasilan proyek PLTS, IESR menekankan pentingnya untuk memiliki rantai pasok yang kuat dan efisien. Dukungan dari sektor manufaktur domestik yang mampu memproduksi panel surya dengan kualitas terbaik akan sangat berpengaruh pada kelancaran proyek-proyek energi terbarukan ini, baik di pasar domestik maupun internasional.
IESR telah melaksanakan Indonesia Solar Summit (ISS) sejak 2022 bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Penyelenggaraan Indonesia Solar Summit (ISS) 2025 edisi keempat ini bertajuk “Solarizing Indonesia: Powering Equity, Economy, and Climate Action”. Acara yang akan berlangsung pada Kamis, 11 September 2025 ini berfokus pada penguatan komitmen, kolaborasi lintas sektor, dan pembelajaran strategis untuk mempercepat integrasi energi surya sebagai pilar utama transisi energi berkelanjutan yang kompetitif serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pendaftaran dilakukan secara gratis di idsolarsummit.info.