Jakarta, 12 September 2025 – Pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia terus menunjukkan tren positif. Salah satu teknologi yang kini semakin mendapat perhatian adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS Terapung). Teknologi ini dinilai mampu menjawab keterbatasan lahan darat sekaligus memberikan solusi inovatif dalam pemanfaatan energi surya.
Praptono Adhi Sulistomo, Koordinator Investasi dan Kerjasama Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian ESDM menuturkan berdasarkan Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa terdapat 257 bendungan di Indonesia dengan potensi PLTS Terapung sebesar 14.701 MWp. Potensi tersebut terbagi atas 187 bendungan eksisting dengan kapasitas 8.787 MWp, 53 bendungan yang baru selesai dibangun dengan potensi 4.213 MWp, 8 bendungan yang sedang dibangun dengan potensi 546 MWp, dan 11 bendungan baru dengan potensi 1.154 MWp. Angka ini memperlihatkan peluang besar untuk mendorong PLTS Terapung sebagai salah satu tulang punggung energi bersih Indonesia.
“Beberapa keunggulan teknologi PLTS terapung antara lain efisiensi lebih tinggi karena suhu panel lebih rendah ketika berada di atas air, mengurangi penguapan air di waduk atau danau sehingga bermanfaat untuk konservasi dan fleksibilitas pemasangan yang memungkinkan kapasitas besar di area yang tidak dimanfaatkan untuk aktivitas lain. Meski begitu, tantangan teknis tetap ada, seperti ketahanan terhadap angin kencang, kelembaban tinggi, dan perawatan sistem kelistrikan di lingkungan perairan,” tegas Adhi dalam sesi panel 3A bertajuk “Accelerating Floating Solar PV: Policy, Technology, and Implementation” Indonesia Solar Summit (ISS) 2025 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Kamis (11/9).
Anindita Satria, Vice President Transisi Energi dan Keberlanjutan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyatakan pengalaman pembangunan PLTS Terapung Cirata memberikan banyak pelajaran berharga. Proyek ini sempat tertunda karena pandemi Covid-19, namun akhirnya dapat dilanjutkan hingga beroperasi. Salah satu tantangan utama adalah proses perizinan yang mencapai 13 izin berbeda. Sementara itu, fase konstruksi relatif lebih singkat, sekitar satu tahun.
“Dari pembangunan PLTS Cirata, ada beberapa hal penting yang dapat menjadi pembelajaran seperti perlunya kolaborasi erat antar-pihak mulai dari pemerintah, investor, PLN, hingga masyarakat local dan perizinan perlu disederhanakan agar tidak memperlambat pembangunan proyek,” tegas Anindita.
Norasikin Ahmad Ludin, Direktur Solar Energy Research Institute (SERI), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) menuturkan di tingkat ASEAN, Indonesia menempati posisi pertama dalam hal potensi PLTS terapung berkat luasnya wilayah dan banyaknya bendungan yang bisa dimanfaatkan. Teknologi PLTS terapung menjadi solusi inovatif dalam mendorong transisi energi di kawasan Asia Tenggara, memungkinkan pemanfaatan energi terbarukan yang maksimal tanpa harus bersaing dengan kebutuhan lahan.
“Beberapa negara di ASEAN telah menunjukkan komitmen mereka dalam mengembangkan PLTS terapung, seperti Indonesia dengan PLTS Terapung Cirata dan Filipina dengan PLTS Terapung di Waduk Malubog, Cebu. Meskipun banyak potensi, penerapan PLTS terapung dalam skala luas perlu mengandalkan faktor kebijakan dan infrastruktur yang mendukung,” tegas Norasikin.
Sementara itu, Dwi Cahya Agung, Koordinator Transisi Sistem Ketenagalistrikan, IESR mengatakan pemerintah melalui Kementerian ESDM pada tahun 2024 telah menerbitkan pedoman PLTS terapung yang sangat komprehensif, mencakup berbagai aspek teknis dan finansial yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangannya. Salah satu hal penting yang perlu diprioritaskan adalah pemanfaatan badan air, dengan potensi yang layak ekonomi sebesar 38,13 GW PLTS terapung di 226 lokasi badan air yang dapat dikembangkan berdasarkan kajian awal IESR.